Menurut Pasal 14 ayat 2 UUD 1945, kata dia, Presiden harus mendengarkan DPR lebih dulu bila akan memberikan amnesti dan abolisi.
"Nah, sekarang kita tinggal menunggu, dari DPR apa tanggapannya, karena surat itu mesti dibahas dulu oleh Bamus, lalu dibacakan di depan Sidang Paripurna DPR, jadi kita tunggu itu. Yang pastii, dari sisi pemerintah, prosesnya sudah selesai," kata.
Baca juga: Duduk Perkara Kasus Saiful Mahdi, Dosen Unsyiah yang Amnestinya Disetujui Jokowi
Mahfud mengatakan, pemerintah bekerja cepat dalam kasus ini karena sudah berkomitmen untuk tidak terlalu mudah menghukum orang.
"Kita kan inginnya restorative justice, dan ini kasusnya hanya mengkritik, dan mengkritik fakultas bukan personal, karena itu menuut saya layak dapat amnesti, makanya kita perjuangkan," kata Mahfud.
Perjalanan Kasus Saiful Mahdi
Kasus yang menjerat Dosen Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Aceh, Saiful Mahdi bermula saat dirinya melontarkan kritik terkaitn proses penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) di Fakultas Teknik dan Teknologi, Unsyiah Kuala, Aceh, pada 25 Februari 2019 lalu.
Kritik tersebut dilontarkan Saiful Mahdi lewat media WhatsApp Group.
"Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup? Gong Xi Fat Cai!!!"
Itu lah yang ditulis Dosen Unsyiah Aceh tersebut dalam whatssApp Group.
Lantas, Dekan Fakultas Teknik Unsyiah, Taufiq Saidi, melaporkan Saiful Mahdi ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik berbekal tulisan di grup Whatsapp tersebut.
Baca juga: PROFIL Saiful Mahdi, Dosen Unsyiah yang Amnestinya Disetujui Jokowi, Begini Duduk Perkara Kasusnya
Pada 2 September 2019, Saiful Mahdi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE.
Setelah menjalani proses penyidikan di kepolisian, akhirnya Saiful Mahdi duduk menjadi terdakwa untuk pertama kalinya di Pengadilan Negeri Banda Aceh pada 17 Desember 2020.
Setelah menjalani 18 kali persidangan, ia akhirnya diputus bersalah dan dijatuhi hukuman pidana penjara selama tiga bulan dan denda sebesar Rp 10 juta.
Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh tersebut dibacakan pada 4 April 2020.