TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko akhirnya mendatangi Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta Selatan.
Ia dipanggil terkait laporannya terhadap peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) bernama Egi Primayoga dan Miftah.
Moeldoko sebelumnya melaporkan dua peneliti ICW itu terkait penelitian soal Ivermectin.
Setelah diperiksa beberapa menit, Moeldoko menghampiri awak media yang sudah menunggunya.
Mantan Panglima TNI itu kemudian mengaku dirinya dicecar 20 pertanyaan oleh penyidik.
"Saya memenuhi panggilan selaku saksi pelapor, ada kurang lebih 20 pertanyaan semua," kata Moeldoko di Bareskrim Polri, Selasa (12/10).
Moeldoko tak banyak berkomentar ihwal pemeriksaan yang ia jalani.
Ia hanya menyampaikan bahwa dirinya siap mengikuti proses hukum.
Baca juga: Penuhi Panggilan Bareskrim Terkait Kasus Tuduhan Bisnis Ivermectin, Moeldoko Dicecar 20 Pertanyaan
"Saya sebagai warga yang baik ikuti prosedur yang telah ditetapkan polisi," ujar mantan Panglima TNI itu.
Diketahui, Moeldoko melaporkan dua peneliti ICW, yakni Egi Primayogha dan Miftah atas dugaan pencemaran nama baik.
Laporan itu dilayangkan ke Mabes Polri pada 10 September dan teregister dengan nomor LP/B/0541/IX/2021/SPKT/Bareskrim Polri.
Moeldoko membuat laporan itu lantaran tidak terima atas tudingan ICW soal bermain dalam bisnis obat Ivermectin. Ia juga tak terima dituduh melakukan permainan bisnis impor beras.
Sebelum membuat laporan, Moeldoko sempat melayangkan somasi ke ICW atas tudingan itu.
Moeldoko meminta dua peneliti ICW meminta maaf ke publik atas fitnah tersebut, namun permintaan itu tak dipenuhi.
Tindakan Moeldoko yang melaporkan dua peneliti ICW itu sempat mendapat kritikan dari para pegiat HAM.
Baca juga: Pengamat Apresiasi Atensi Kepala KSP Moeldoko kepada Petambak Garam
Ia dinilai sebagai pejabat yang antikritik. Lembaga SETARA Institute misalnya, yang menyayangkan jalan dan cara pintas para pejabat negara dalam merespons kritik.
"Seharusnya, kritik dijawab dengan kritik bantahan. Riset dibalas dengan produk riset dan seterusnya. Inilah yang menyehatkan demokrasi kita," kata SETARA Institute dalam sebuah pernyataannya, Kamis (23/9).
"Terlebih, kritik yang disampaikan bukanlah tuduhan tak berdasar, melainkan beranjak pada hasil penelitian yang tentunya telah dilakukan secara objektif, rasional, dan independen melalui berbagai metode ilmiah yang telah divalidasi," sambungnya.
Setara Institute menilai, pejabat negara tak memahami bagaimana diferensiasi antara kritik yang berdasar pada bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan dengan pencemaran nama baik, yang memang bermuatan penghinaan tanpa didasarkan pada alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Setara Institute juga menilai, bahwa rentetan peristiwa yang terjadi tersebut adalah alarm soal kebebasan akademis dan berekspresi para pembela HAM.
"Apa yang terjadi seolah menyiratkan pesan terhadap masyarakat sipil bahwa mengkritik pejabat negara hanya akan berujung pada upaya kriminalisasi. Bagaimanapun sangat jelas bahwa langkah hukum para pejabat negara itu lebih menggambarkan penggunaan kuasa untuk membungkam kritik. Untuk itu, negara harusnya hadir dan kembali menegakkan jaminan atas kebebasan berpendapat sebagaimana janji Pasal 28E ayat (3) Konstitusi RI," ujar SETARA.
Moeldoko sendiri membantah tudingan dirinya sebagai antikritik.
Baca juga: Moeldoko Belum Pikirkan Jalur Damai dengan Dua Peneliti ICW
“Enggak, Moeldoko tak pernah antikritik, kita membuka sumbatan komunikasi, biasa saja. Enggak ada masalah,” kata Moeldoko di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Jumat (10/9).
Ia menuturkan, tudingan ICW lewat 'rente ivermectin' yang tak bisa dibuktikan sangat mengganggu.
Bahkan berhubungan langsung dengan persoalan pribadinya dan keluarganya.
“Tapi ini lain persoalannya ya. Sudah berkaitan dengan persoalan pribadi yang harus diselesaikan. Dan ini saya punya istri dan anak. Wah ini jadi beban mereka. Saya tak ingin itu,” ujar Moeldoko.(tribun network/igm/dod)