TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro mengatakan pada pelaksanaan pemilihan presiden di tahun 2024 mendatang semestinya tak lagi mempolitisasi etnisitas dan latar belakang suku budaya.
"Menurut saya mestinya urusan etnisitas, latar belakang dari mana mestinya sudah cair. Karena kita sudah pernah ada pak Habibie meski tidak melalui pemilu sebagai presiden, berarti kan orang non-Jawa juga oke," kata Siti dalam diskusi daring bertajuk 'Memprediksi Kemunculan Capres Ala Pembagian Wilayah Penanganan Covid (Jawa Bali - Non Jawa - Bali), Jumat (15/10/2021).
Namun Siti mengakui politisasi agama masih terjadi.
Bahkan kata dia, pada era demokrasi saat ini politisasi identitas dan SARA kerap digunakan oleh peserta pemilihan.
Menurutnya penggunaan politisasi tersebut adalah suatu kekejian tersendiri yang menyebabkan saat ini terbentuk ketidakpercayaan di tengah masyarakat.
Baca juga: Dukung Ganjar Pranowo untuk Pilpres 2024, Ketua PDIP Solo Bela Kader yang Disebut Celeng
Kondisi ini lanjut Siti adalah cermin dari tidak cukupnya para pelaku politik mengelola isu keberagaman atau kemajemukan.
"Yang terjadi justru di era demokrasi, di politisasi, politisasi identitas, sara, pokoknya menang. Itu kekejian tersendiri menurut saya sehingga terjadilah kita seperti ini, ada distrust," ucapnya.
"Cuman masalah agama masih, Jadi kita tidak cukup mengelola isu keberagaman atau kemajemukan kita agar menjadi kekuatan, tidak cukup mengelola," imbuh dia.
Siti berharap dipelaksanaan pesta demokrasi mendatang, masyarakat tak lagi membeda - bedakan suku saat memilih presiden maupun wakil rakyat.
Namun lebih mempertimbangkan pada kualitas dari para calon.
"Harapan saya pribadi ke depan kita tidak membedakan suku, tapi yang kita bedakan adalah kualitasnya. Makanya saya jelaskan sejak awal bahwa pemimpin nasional kita, capres dan cawapres ini nanti menjadi dwitunggal," pungkas Siti.