TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menyambut Sumpah Pemuda 28 Oktober 2021, para penulis memilih 100 buku yang mewarnai sejarah dan budaya Indonesia sejak era kolonial.
Persatuan Penulis Indonesia Satupena mengambil inisiatif agar buku penting itu kembali bisa diakses publik.
Denny JA selaku ketua umum Satupena menampung aspirasi itu.
“Dua hal yang kami lakukan. Pertama, memilih 100 judul buku itu melalui kriteria, survei dan penilaian para ahli. Kedua, berupaya menerbitkan kembali 100 buku itu dalam bentuk Print on Demand," ujar Denny dalam keterangan tertulisnya, Minggu (24/10/2021).
Beberapa judul buku yang terpilih dalam daftar 100 buku itu di antaranya: Mulai Di bawah Bendera Revolusi karangan Bung Karno (1959), Renungan Indonesia karangan Sutan Sjahrir (1947), Demokrasi kita dikarang Bung Hatta (1963), hingga RA Kartini menulis Habis Gelap Terbitlah Terang (1922).
Satupena juga membentuk tim ahli untuk menyempurnakan pilihan forum para penulis itu, yakni Azyumardi Azra dan Manuel Kaisiepo untuk karya non-fiksi juga Nia Samsihono dan Suminto A. Sayuti untuk karya fiksi.
"Sesuai usulan yang masuk, pilihan dipadatkan dan diperkaya menjadi 100 judul buku saja," kata Denny.
Buku paling tua terbitan tahun 1920 yakni Azab dan Sengsara karya Merari Siregar.
Adapun yang paling baru, Atas Nama Cinta karya Denny JA terbit 2012 yang dianggap melahirkan genre puisi esai.
Baca juga: Terpilih Aklamasi, Denny JA Membawa 7 Program Unggulan
"Buku-buku fiksi dan non-fiksi ini mempengaruhi batin, sejarah, dan budaya Indonesia," kata Denny.
Menurutnya, sejumlah buku susah diakses publik. "Seandainya pun buku itu dijumpai, sangat mungkin susah dibaca insan zaman kini karena berbedanya ejaan dan tata bahasa," katanya.