Laporan Wartawan Tribunnews.com Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Krisis Iklim di depan mata.
Tahun lalu cuaca ekstrem dan pandemi COVID-19 menjadi hantaman ganda bagi jutaan warga berbagai benua.
Menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), 2020 menjadi satu dari tiga tahun terhangat yang pernah tercatat meski La Nina yang dingin sedang berlangsung.
Lebih dari 30 juta orang menyingkir akibat peristiwa bencana yang dipicu cuaca buruk.
Baca juga: Tiga Indikator yang Harus Dihadirkan Pemerintah Indonesia Dukung Regulasi Ekonomi Hijau
Dan di Indonesia, sekitar 6,3 juta penduduk mengungsi karena terdampak bencana hidrometeorologi seperti hujan, banjir, atau tanah longsor.
Suhu rata-rata global tahun lalu 1,2 derajat Celsius lebih tinggi ketimbang era pra-industri (1850–1900).
Padahal, sesuai target bersama, dunia ingin menghindar dari kenaikan temperatur hingga 1,5 derajat Celcius.
Sembari membidik Net Zero Emission (NZE) pada 2060 demi mengurangi dampak perubahan iklim.
Baca juga: Kendaraan yang Tak Lulus Uji Emisi Bakal Ditilang, Diterapkan di Jakarta Mulai 13 November 2021
Dalam konteks ini, Indonesia berperan penting untuk ikut mengerem peningkatan suhu bumi.
Sebagai negara dengan tutupan hutan tropis luas, Indonesia berpotensi menjadi negara adidaya yang bakal menentukan arah untuk menghadapi krisis iklim.
Misi sedemikian dapat dirintis pada 31 Oktober–12 November 2021 dalam acara UN Climate Change Conference of the Parties (COP26) ke-26 yang bakal digelar di Glasgow, Skotlandia.
COP26, sebagai bagian dari Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Merupakan forum tingkat tinggi signifikan bagi 197 negara, untuk membahas perubahan iklim global dan rencana menghindari Krisis Iklim. Presiden Joko Widodo dijadwalkan hadir di sana.
Namun, menyumbang peran dalam hal sebegitu besar bukan perkara mudah. Indonesia perlu berinovasi dalam pembangunan ekonomi untuk mencapai target dimaksud.
Indonesia diharapkan telah menurunkan emisi agar dapat meraih NZE sebelum 2060. Di sisi lain, 91% transportasi domestik saat ini masih didominasi energi fosil.
Dampak praktik tersebut buruk bagi lingkungan, sosial, dan keuangan negara. Seperti kerusakan hutan, korban lubang tambang, dan besarnya impor BBM.
“Indonesia perlu transisi secara menyeluruh dari sumber energi berbasis fosil ke energi bersih dan terbarukan,” kata Program Manager Energy Transformation, Institute for Essential Services Reform (IESR), Deon Arinaldo pada webinar secara virtual, Kamis (27/10/2021).
Maka dalam kegiatan yang sama, Komunitas Peduli Krisis Iklim meminta pemerintahan Joko Widodo, pertama memastikan arah pembangunan ekonomi hijau yang inklusif.
Kedua, berkeadilan, berorientasi pada pertumbuhan kesejahteraan, dan responsif terhadap Krisis Iklim. Melalui pemenuhan ambisi Net Zero Emission lebih cepat dari 2060 melalui peta jalan yang jelas dan terukur.
Selain itu memastikan peralihan segera dari sumber energi berbasis fosil seperti batu bara dan turunannya menuju energi terbarukan, dengan kebijakan transisi energi yang inklusif, terdesentralisasi, terukur, dan berkeadilan.
Ketiga, adanya penguatan upaya perlindungan ekosistem alam. Termasuk menghentikan alih guna lahan yang tidak selaras dengan aspirasi Indonesia mencapai Net Zero Emission lebih cepat dari 2060.
Keempat, membuat pengelolaan sampah yang menyeluruh, mulai dari pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan.
Kelima, memastikan Indonesia menjadi negara tujuan investasi hijau yang inklusif, berkeadilan serta berkelanjutan. Dengan memperbesar insentif aliran pendanaan hijau dan disinsentif pendanaan kotor.