Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Saksi ahli mengungkapkan bahwa pengujian terhadap spesifikasi dari pembelian tiga unit quay container crane (QCC) dengan kapasitas 61 ton untuk mengangkat beban tidak pernah dilakukan berdasarkan standar Eropa, yakni Federation Europeenne De La Manutention (FEM) dalam perkara dugaan korupsi pengadaan tiga QCC oleh PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) ll.
Hal itu disampaikan oleh salah satu saksi ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ignatius Pulung Nurprasetio, dalam agenda pemeriksaan saksi ahli dengan terdakwa mantan Direktur Utama PT Pelindo ll Richard Joost Lino alias RJ Lino.
"Tadi disebutkan ada yang tidak sesuai spesifikasi tapi tidak berpengaruh pada fungsi. kalau melihat spesifikasi dari QCC, kan mengangkut 61 ton! Apakah dalam pengujian tersebut sesuai spesifikasi yang direncanakan, yakni kapasitas 61 ton?" tanya jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Wawan Yunarwanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (27/10/2021).
Saksi ahli Ignatius Pulung Nurprasetio menjelaskan bahwa hasil investigasi yang dilakukan ahli ITB menyebutkan tiga QCC yang masing-masing berkapasitas 61 ton itu tidak pernah dilakukan pengujian berdasarkan standar eropa (FEM).
Baca juga: Sidang Korupsi di Pelindo II, Saksi Ungkap Alasan Tidak Mau Teken Pembayaran QCC
Standar FEM mengharuskan QCC dilakukan tes di pabrik dengan dua pengujian, yaitu uji dinamis seberat 73,2 ton dan uji statik seberat 85,4 ton.
Namun HuaDong Heavy Machinery Co Ltd (HDHM) selaku produsen, tidak pernah melakukan pengujian tersebut.
"Harus diuji 73,2 ton, bukan 61 ton, dan harus uji statik 140%, 85,4 ton. Kedua pengujian yang menurut standar FEM ini tidak pernah dilaksanakan untuk ketiga QCC tersebut," jawab Pulung.
Baca juga: Kasus Korupsi PT Pelindo II, Saksi Beberkan Peran Anak Buah RJ Lino Selipkan Pesan Harus HDHM
Untuk memastikan hal itu, ahli memberikan bukti untuk menjawab pertanyaan jaksa bukti apa kalau pengujian itu tidak pernah dilakukan. Menurut ahli ada dua alasan.
Pertama, pertimbangan teknis, waktu alat dipasang di lapangan, kontrol alat tersebut diatur pada beban maksimum 61 ton.
"Kalau diberi beban lebih, dan kami sudah evaluasi lihat control panel di alat ukur tersebut, diset di 61 ton. Kalau diberi beban lebih, unit akan berhenti bekerja," papar Pulung.
"(Kedua) dari sisi praktis, pada saat kami periksa 2016, alat sudah berusia 6 tahun, sudah ada masa pakai, sehingga tidak lagi mungkin safe untuk menguji lebih besar dari kapasitas," sambungnya.
Lebih lanjut Pulung menegaskan bahwa yang lebih penting juga, memperoleh beban sampai 73,2 ton dan 85,4 ton di lapangan itu tidak memungkinkan.
"Karena masa operasi, kontainer itu range berat 20-30 ton. Itulah benda-benda yang biasa diangkat dari darat ke kapal, kapal ke darat," tuturnya.