TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat Kamhar Lakumani merespon pernyataan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang menyebut Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggunakan anggaran US$2 miliar atau sekitar Rp 22 triliun untuk program bantuan sosial (Bansos) menjelang Pilpres 2009.
"Merespon pernyataan Hasto yang tiada henti menyerang Partai Demokrat dan Pak SBY terkait alokasi Rp 22 triliun untuk Bansos, maka kami tegaskan bahwa Kami bangga jika Pak SBY dikatakan sebagai Bapak Bansos," kata Kamhar kepada Tribunnews.com, Selasa (2/11/2021).
Menurut Kamhar, pihaknya tahu betul pemberian bansos dalam berbagai bentuk saat SBY menjadi presiden adalah bentuk tanggung jawab dan hadirnya negara meringankan beban rakyat ketika sedang kesusahan dan sebagai kompensasi atas pengurangan subsidi pada masa itu.
"Tuduhan adanya motif politik itu tidak berdasar karena pasca 2009 pun atau diperiode kedua pemerintahan SBY pemberian bansos tetap dilanjutkan," ujar Kamhar.
Baca juga: Hasto Singgung SBY Soal Politik Bansos di Pemilu 2009 yang Membebani Keuangan Negara
Menurut Kamhar, rakyat justru sangat bersyukur dan berterima kasih menerima bansos yang sebelumnya tak pernah mereka nikmati.
"Ini karena Pak SBY juga memimpin dengan hati. Jauh berbeda dengan watak dan karakter pemerintah sekarang," ujar Kamhar.
Dia mengatakan subsidi dicabut tapi rakyat tidak dapat apa-apa secara langsung untuk meringankan bebannya, malah sampai sembako pun dipajakin.
"Semakin menambah beban penderitaan rakyat. Katanya partai “wong cilik” yang semestinya pro poor, nyatanya berkebalikan," ujar Kamhar.
Lebih jauh Kamhar mengatakan argumentasi Hasto bahwa politik populis membahayakan keuangan negara, justru berbanding terbalik dengan kenyataan.
"Padahal tahun 2008-2010 terjadi krisis ekonomi global, justru Indonesia di bawah pemerintahan Presiden SBY dapat melewati dan mengatasi krisis dengan baik," ujarnya.
Menurut dia saat itu pertumbuhan ekonomi terjaga sebesar 6,01% pada 2008 dan masih tumbuh sebesar 4,63% pada 2009 saat banyak negara telah mengalami kontraksi atau pertumbuhan minus dan Indonesia kembali naik menjadi 6,1% pada 2010.
"Jadi tuduhan Hasto sama sekali bertentangan dengan kenyataan," katanya.
Kamhar menduga pernyataan Hasto ini hanya untuk menutup-nutupi ketidak mampuan negara saat ini untuk hadir dan memberikan bantuan meringankan beban penderitaan rakyat.
"Di masa pandemi Covid-19 ini justru rakyat lagi butuh-butuhnya kebijakan populis negara," katanya.