News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Komnas HAM Harap Jokowi Kabulkan Grasi Untuk Terpidana Mati Merry Utami

Penulis: Gita Irawan
Editor: Adi Suhendi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Komisioner Komnas HAM RI M Choirul Anam.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisioner Komnas HAM Choirul Anam berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengabulkan grasi untuk terpidana mati Merry Utami yang sudah berada di penjara selama 20 tahun.

Anam mengatakan pada Selasa (2/11/2021) kemarin pihak keluarga Merry mendatangi Komnas HAM untuk membuat pengaduan.

Keluarga korban, kata Anam, telah mengajukan grasi bagi Merry pada tahun 2016.

Namun demikian, kata dia, hingga kini grasi tersebut belum ditindaklanjuti.

Ia mengatakan banyak sisi-sisi kemanusiaan dan sisi-sisi lainnya yang bisa jadi pertimbangan, misalnya penilaian yang menunjukkan penilaian baik terhadap Merry selama menjalani hukuman di penjara.

Anam menjelaskan hukuman mati merupakan persoalan pelik bagi Komnas HAM dan bagi kondisi hak asasi manusia di Indonesia terutama bagi terpidana yang sudah puluhan tahun ada di penjara.

Untuk itu, kata dia, Komnas HAM mendorong dua hal.

Pertama, bagi terpidana mati yang sudah puluhan tahun seperti Merry harus ada jalan keluar.

Baca juga: Ketua DPR: Jakarta PPKM Level 1, Prokes Juga Harus Tetap Nomor 1

Ia mendorong agar hukuman terhadap mereka yang senasib dengan Merry diubah menjadi hukuman dengan kerangka waktu tertentu dan pengajuan grasi bisa dikabulkan.

"Karenanya kami berharap Presiden bisa mengeluarkan grasi. Catatan dari sistem penilaian yang ada di lapas bisa dijadikan salah satu batu pijak untuk mengeluarkan kebijakan itu. Kita dorong itu, agar semakin lama kehidupan kita semakin baik," kata Anam dalam kanal Yotube Komnas HAM dikutip, Rabu (3/11/2021).

Kedua, kata Anam, Komnas HAM juga mendorong perubahan sistem dan terobosan kebijakan.

Dalam ide yang ada dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia, kata Anam, ide soal bagaimana menyelesaikan orang-orang yang sudah sekian tahun di penjara menunggu hukuman mati sudah ada.

Baca juga: Komnas HAM Sayangkan Respons Kalapas Soal Dugaan Penyiksaan di Lapas Narkotika Kelas II A Yogyakarta

Menurutnya, hal tersebut penting untuk menghargai pihak Lapas yang sudah melakukan penilaian, pembinaan yang menunjukkan adanya perubahan sikap yang mendasar dari para terpidana tersebut.

"Saya kira 20 tahun orang dengan catatan yang baik, tidak mengulangi perbuatannya, bahkan menjadi bagian dari program lapas, mereka mempunyai hak untuk mendapatkan pengurangan atau pengubahan hukuman dari hukuman mati menjadi hukuman yang punya kerangka waktu tertentu," kata Anam.

Diberitakan sebelumnya Merry Utami, perempuan asal Sukoharjo, Jawa Tengah menjadi terpidana mati karena terseret dalam kasus obat-obatan terlarang di tahun 2001 silam.

Merry merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT dari sang suami.

Bahkan sang suami memaksa Merry untuk bekerja di luar negeri dengan menjadi buruh migran atau TKI.

Baca juga: Komnas HAM Terkejut dengan Langkah Pengawasan di Internal Kepolisian Saat Ini

Merry memutuskan untuk bercerai dengan sang suami setelah bekerja selama dua tahun di luar negeri.

Di tahun 2001, Merry memutuskan untuk pergi ke Taiwan untuk kedua kalinya.

Kala itu, ia menuju Jakarta terlebih dahulu, untuk melakukan sejumlah proses sebelum keberangkatannya menjadi TKI.

Namun, saat di Jakarta, ia bertemu dengan seorang warga negara Kanada, bernama Jerry.

Jerry terlihat bersikap baik hingga sangat perhatian dan dekat dengan anak-anak Merry.

Keduanya pun memutuskan untuk berpacaran dan Jerry mengajak Merry berlibur ke Nepal.

Pada Oktober 2001, Jerry terlebih dahulu pulang ke Jakarta karena ada urusan bisnis.

Sementara Merry diminta untuk menunggu teman Jerry karena akan menitipkan tas.

Sampai di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten Merry justru ditangkap pihak otoritas setempat.

Ia didapati membawa 1,1 kilogram heroin yang berada di dalam tas titipan teman Jerry.

Merry sempat menghubungi Jerry dan dua teman yang menitipkan tas, Muhammad dan Badru.

Hal tersebut disampaikan Tim kuasa hukum Merry dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Antonius Badar.

Akan tetapi nomor ponsel ketiganya tidak aktif saat dicoba untuk dihubungi.

"Merry sempat menghubungi Jerry dan kedua temannya. Tapi ponsel mereka sudah tidak aktif, sejak itu Jerry menghilang," kata Antonius pada 2016 lalu.

Terkait temuan itu, Merry oleh Pengadilan Tingkat Pertama dijatuhi hukuman mati pada 2002 silam.

Merry sempat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung namun ditolak.

Begitu pula dengan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan pada 2014 juga ditolak Mahkamah Agung.

Disebutkan Merry akan diikutkan dalam eksekusi hukuman mati gelombang tiga pada 2016 lalu.

Ia masuk ke dalam daftar 14 terpidana mati yang akan dieksekusi pada 29 Juli 2016 di Lapas Nusa Kambangan, Cilacap.

Akhirnya dari 14 terpidana mati, hanya ada empat yang benar-benar dieksekusi.

Dalam daftar 10 orang itu, ada nama Merry yang eksekusi matinya ditunda karena masih menunggu kejelasan dari Kejaksaan.

Terkait kasus dan hukuman ini, pihak keluarga justru meyakini Merry hanya dijebak Jerry dan dua temannya.

Paman Merry, Bambang, memberikan tanggapan tersebut.

Saat ditemui di Solo, Jawa Tengah pada 2016 lalu Bambang merasa Merry adalah korban kejahatan dari bandar narkoba.

Bahkan Bambang menceritakan, Merry sempat dijanjikan akan dinikahi oleh Jerry.

"Kami yakin Merry adalah korban kejahatan asal Nigeria itu," jelas Bambang.

Sejumlah Aktivis ikut bersuara dan memberikan perhatian khusus pada kasus yang dialami oleh Merry.

Mulai dari Serikat Perempuan Indonesia atau SERUNI, Komnas Perempuan, hingga Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI).

Perwakilan JBMI, Wiwin Warsiyati menuntut Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunda hukuman mati Merry.

Sedangkan SERUNI, meminta agar Jokowi dapat mengabulkan Grasi yang diajukan Merry.

Kini, muncul sebuah petisi yang ingin menyelamatkan Merry dari ketidakadilan.

Dalam petisi itu sejumlah pihak meminta agar Jokowi dapat memberikan Grasi bagi Merry.

Petisi tersebut dibuat oleh LBH Masyarakat, M. Afif Abdul Qoyim pada 23 Juli 2020 lalu.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini