TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul FIkri Faqih menilai, ketentuan tentang persetujuan seksual yang tercantum dalam Permendikbudristek Nomor 30/ 2021, tidak dikenal di dalam norma hukum di Indonesia.
"Konsensus yang kita sepakati sesuai norma Pancasila dan UUD 1945 adalah bahwa hubungan seksual baru boleh dilakukan dalam konteks lembaga pernikahan,” kata Fikri kepada wartawan, Selasa (9/11/2021).
Polemik tentang persetujuan seksual muncul setelah Mendikbudristek RI, Nadiem Anwar Makarim menerbitkan Peraturan Menteri nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi pada September lalu.
Baca juga: Legislator PAN Desak Permendikbudristek 30/2021 Dibatalkan
Dalam Permendikbudristek tersebut tercantum frasa 'tanpa persetujuan korban' yang mengacu kepada definisi kekerasan seksual dalam pasal 5 pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, huruf l, dan huruf m.
Menurut Fikri, dalam frasa 'tanpa persetujuan korban' terkandung makna persetujuan seksual atau sexual consent.
"Artinya hubungan seksual dibolehkan asal dilakukan atas dasar suka sama suka," ujarnya.
Hal tersebut tentu bertolak belakang dengan norma hukum yang berlaku di Indonesia, di mana perzinahan dianggap sebagai perilaku asusila dan diancam pidana.
"Pasal 284 KUHP misalnya, mengancam hukuman penjara bagi yang melakukannya," kata Fikri.
Baca juga: 9 Siswa dan Guru SMPN 2 Depok Terpapar Covid-19, Sekolah Langsung Gelar Swab Test PCR Massal
Baca juga: Setelah Temuan 2 Pocong Mini di Situs Watugenuk Boyolali, Kini Ada Arca Lembu Andini
Bahkan, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) masih menambahkan peran aturan agama dalam hak-hak Wanita.
Pasal 50 dalam UU HAM berbunyi: “Wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya”.
Padahal UU 39/1999 adalah salah satu konsideran yang tercantum dalam pembentukan Permendikbudristek 30/2021.
Selain itu UU Sisdiknas yang juga dicantumkan sebagai konsideran pada dasarnya memiliki semangat yang berlandaskan moral-moral Pancasila.
Pasal 3 UU 20/2003 tentang Sisdiknas menjelaskan, bahwa fungsi Pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Baca juga: Ketua Komisi X DPR: Permendikbud 30/2021 Perlu Revisi Terbatas
Fikri menegaskan, fraksinya sangat menentang segala bentuk kekerasan seksual yang tertulis sebagaimana di dalam judul Permendikbud 30/2021.
Namun di sisi lain, juga tidak setuju dengan legalisasi perzinahan.
"Sebagai bangsa timur yang menjunjung tinggi moral agama, nilai pancasila dan berketuhanan yang maha esa, sudah seharusnya kita menolak budaya seks bebas,” pungkasnya.