TRIBUNNEWS.COM - Penggagas yang juga Ketua Umum PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI), Arsjad Rasjid, menanggapi isu bisnis PCR yang menyeret nama menteri kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini.
Diketahui, isu bisnis PCR ini telah menyeret Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, serta Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir.
Arsjad menjelaskan, Luhut dalam hal bisnis PCR sama sekali tidak turut serta.
"Terus terang Pak Luhut itu tidak ikut-ikutan sama sekali. Saya bukan membela Pak Luhut atau mengalihkannya ke Pak Erick, karena berbicara tentang ini saja (bisnis PCR)."
"Saya mau bicara apa adanya saja, profesional dari apa yang saya ketahui," jelas Arsjad, dikutip dari Kompas TV, Senin (8/11/2021).
Menurut Arsjad, publik semestinya tidak perlu meributkan terkait penjabat ingin menginvestasikan dananya di mana.
Baca juga: Kemenko Marves Beri Penjelasan Soal Kewajiban PCR Bagi Penumpang Pesawat
Baca juga: 9 Siswa dan Guru SMPN 2 Depok Terpapar Covid-19, Sekolah Langsung Gelar Swab Test PCR Massal
Lebih lanjut, kata Arsjad, publik mestinya melacak dari mana asal dananya.
"Saya merasa, kalau asalkan itu uang dapatnya yang yang bener, orang mau menaruh di perusahaan mau investasi, memangnya salah?"
"Yang harusnya di-track itu kan harusnya dana itu awalnya dari mana, itu saja."
"Dan kalau orang sudah jadi pejabat, apa orang tidak boleh investasi? Orang nggak boleh hidup lagi?" kata Arsjad.
Mengenai kenapa GSI dibuat sebagai perusahaan, Arsjad menyebut lantaran di Indonesia belum ada perusahaan yang bergerak untuk menghimpun para pelaku bisnis agar mau menyatukan visi dalam memberikan dampak positif bagi sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Terutama dengan modal usaha rintisannya sebagai kekuatan utama.
Baca juga: Masyarakat Diminta Tak Terprovokasi Tuduhan Pejabat Terlibat Bisnis Tes PCR
"Itu karena entitas yang namanya perusahaan sosial itu belum ada (di Indonesia). Kalau di luar negeri (misalnya) Amerika itu sudah ada namanya B Corp, di Inggis dan Singapura (juga ada)."
"Sementara di Indonesia belum ada, yang dimana itu mempunyai wujud kedua-duanya, yakni social and price," kata Arsjad.