TRIBUNNEWS.COM - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD memberi tanggapan soal dugaan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri BUMN Erick Thohir bermain bisnis tes PCR di Indonesia.
Ia menjelaskan, di awal pandemi kondisi sangat mencekam, membuat banyak masyarakat berperan dalam menangani Covid-19, termasuk Luhut dan Erick.
Dikatakannya Luhut, Erick, dan beberapa kawannya membentuk yayasan untuk membantu masyarakat dalam pengadaan obat dan alat test Covid.
Baca juga: Sahroni Bela LBP Terkait Tudingan Bisnis PCR: Pak Luhut Sudah Jelaskan, Biar Beliau Fokus Bekerja
Dimana, yayasan itu mendirikan PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) penyedia pengadaan tes PCR yang distribusi ada yang berbayar maupun gartis.
Meskipun begitu, Mahfud tetap mempersilahkan masyarakat untuk meneliti dan melakukan audit lebih jauh soal tuduhan yang menyeret dua nama menteri itu.
Hal itu ia ungkapkan dalam Webinar bertajuk ‘Menguji Konsistensi Kebijakan Penanganan Pandemi Covid-19 Terhadap UUD 1945,’ yang diselenggarakan oleh Masjid Kampus UGM Sabtu malam (13/11).
“Saya tak bermaksud membela LBP dan Erick, saya hanya menjelaskan konteks kebutuhan ketika dulu kita diteror dan dihoror oleh Covid-19, dan ada kebutuhan gerakan masif untuk mencari alat test dan obat."
"Silakan terus diteliti, dihitung, dan diaudit. Masyarakat juga punya hak untuk mengkritisi. Nanti akan terlihat kebenarannya,” ucap Mahfud dikutip dari laman Kemenkopolhukam, Minggu (14/11/2021).
Mahfud menambahkan, kontroversi penanganan Covid-19 di Indonesia sudah muncul sejak awal, terutama ketika Pemerintah mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020.
Baca juga: Luhut: Tidak Ada ke Kantong Saya Sepeser pun, Wong Duit dari Bisnis Saya Cukup untuk Hidup kok
Saat itu, kata Mahfud, ada tudingan bahwa Perppu itu dibuat untuk mengkorupsi dan menggarong keuangan negara dengan menggunakan hukum.
Padahal, alasan pemerintah waktu itu jelas untuk menangani pandemi Covid-19 secara konsisten terhadap UUD 1945.
“Menurut hukum keuangan, Pemerintah bisa dianggap melanggar UU jika belanja APBN mengalami defisit anggaran lebih dari tiga persen dari PDB"
"Nah, waktu itu untuk menanggulangi Covid-19 diperkirakan akan terjadi defisit lebih dari tiga persen, sehingga untuk melakukan tindakan cepat, Pemerintah membuat Perppu,” jelas Mahfud.
Baca juga: Luhut Tolak Menarik Sahamnya dari PT GSI: Itu Biar Saja Proyek Kemanusiaan
Waktu berlalu, DPR menyetujui Perppu tersebut menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020.
Undang-undang tersebut tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian dan/atau Stabilitas Keuangan menjadi Undang-Undang.
Kemudian, UU itu melalui proses uji di Mahkamah Konstitusi dan dibenarkan.
Dalam prosesnya, MK malah memperkuat frasa yang ada di Pasal 27 ayat (2) bahwa pejabat dianggap tidak melanggar hukum jika menggunakan anggaran dengan besaran apa pun selama dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Baca juga: Polemik Harga Tes PCR, Begini Kata Kadin
Mahfud mengatakan frasa tersebut Oleh MK, dikuatkan ke Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) sebagai conditionally constitutional.
Selain itu, Mahfud juga menegaskan ahwa pemerintah sama sekali tidak anti kritik.
Namun, jika nantinya pemerintah menjawab kritik dengan membanding pendapat dan data, maka jangan dicap anti kritik.
"Di negara demokrasi itu menjawab kritik dan mengadu logika, adalah bagian dari mujadalah, mencari kebenaran."
"Silahkan kritik, dan izinkan yang dikritik menjawab dan mengkritik balik,” tandasnya.
(Tribunnews.com/Shella Latifa)