Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami aliran uang yang didapat Bupati Hulu Sungai Utara (HSU) Abdul Wahid (AW).
Uang itu diperoleh Abdul Wahid dari pelaksanaan berbagai proyek pekerjaan di Dinas PUPRP (Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang dan Pertanahan) di Kabupaten Hulu Sungai Utara.
Pendalaman materi ini diselisik tim penyidik KPK lewat pemeriksaan 10 saksi yang dilakukan di Kantor Polres Hulu Sungai Utara, Jumat (19/11/2021).
"Seluruh saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan pelaksanaan berbagai proyek pekerjaan di Dinas PUPRP di Kabupaten Hulu Sungai Utara yang diduga ada aliran sejumlah dana kepada tersangka AW dan pihak terkait lainnya dalam bentuk fee proyek," kata Juru Bicara KPK Ipi Maryati Kuding dalam keterangannya, Jumat (19/11/2021).
Adapun 10 saksi yang diperiksa di antaranya Muhammad Rakhmani Nor selaku Kabid Binamarga, Nofi Yanti selaku Staf bidang rehabilitas/pemeliharaan pengairan PUPRP Kabupaten HSU/PPTK bidang rehabilitas/pemeliharaan pengairan, Syaukani selaku sopir Bupati, Muhammad Reza Karimi selaku honorer pada Humas Setda Kabupaten Hulu Sungai Utara/ajudan Bupati Hulu Sungai Utara, Amos Silitonga selaku Kabid Cipta Karya.
Baca juga: KPK Sebut Berkas Perkara Kepala BPBD Kolaka Timur P21
Kemudian, HM Ridha selaku Staf Bina Marga/Staf di Bina Marga/Pokja, Moch Arifil alias Iping selaku PNS/mantan ajudan Bupati/Kabag Humas Kabupaten HSU/ mantan Kasubag Protokol Kabupaten HSU, Khairussalim selaku PNS/Kabag Pemerintahan Setda Hulu Sungai Utara, Doddy Faisal selaku Staf di Bina Marga/Pokja, dan Almien Ashar Safari selaku Ketua DPRD HSU periode 2019-2024.
Abdul Wahid dijerat dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara atau yang mewakilinya terkait pengadaan barang dan jasa di Kabupaten HSU, Kalimantan Selatan, tahun 2021-2022.
Perkara ini berawal dari kegiatan Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh tim KPK pada Rabu (15/9/2021) di Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.
KPK juga telah menetapkan beberapa pihak sebagai tersangka yaitu Maliki selaku Plt Kadis PU pada Dinas PUPR Kabupaten Hulu Sungai Utara sekaligus PPK dan KPA, Marhaini selaku Direktur CV Hanamas, dan Fachriadi selaku Direktur CV Kalpataru.
Baca juga: Ditahan KPK Karena Terima Duit Miliaran Rupiah, Bupati HSU Abdul Wahid Bungkam
Untuk konstruksi perkaranya, dijelaskan Ketua KPK Firli Bahuri, Abdul Wahid selaku Bupati HSU untuk dua periode 2012-2017 dan 2017-2022 pada awal tahun 2019 menunjuk Maliki sebagai Plt Kepala Dinas PUPRP Kabupaten HSU.
"Diduga ada penyerahan sejumlah uang oleh MK (Maliki) untuk menduduki jabatan tersebut karena sebelumnya telah ada permintaan oleh tersangka AW," kata Firli dalam jumpa pers di kantornya, Kamis (18/11/2021).
Firli menyebutkan penerimaan uang oleh Abdul Wahid dilakukan di rumah Maliki pada sekitar Desember 2018 yang diserahkan langsung Maliki melalui ajudan Abdul Wahid.
Kemudian, pada sekitar awal tahun 2021, Maliki menemui Abdul Wahid di rumah dinas jabatan Bupati untuk melaporkan terkait plotting paket pekerjaan lelang pada Bidang Sumber Daya Air Dinas PUPRP HSU tahun 2021.
Dalam dokumen laporan paket plotting pekerjaan tersebut, Maliki telah menyusun sedemikian rupa dan menyebutkan nama-nama dari para kontraktor yang akan dimenangkan dan mengerjakan berbagai proyek dimaksud.
Baca juga: Kasus Suap di HSU Kalsel, KPK Periksa 8 Saksi di Markas Brimob Tabalong
"Selanjutnya tersangka AW menyetujui paket plotting ini dengan syarat adanya pemberian komitmen fee dari nilai proyek dengan persentase pembagian fee yaitu 10% untuk tersangka AW dan 5% untuk MK," kata Firli.
Adapun, diungkapkan Firli, pemberian komitmen fee yang antara lain diduga diterima oleh Abdul Wahid melalui Maliki, yaitu dari Marhaini dan Fachriadi dengan jumlah sekitar Rp 500 juta.
"Selain melalui perantaraan MK, tersangka AW juga diduga menerima komitmen fee dari beberapa proyek lainnya melalui perantaraan beberapa pihak di Dinas PUPRP Kabupaten Hulu Sungai Utara," ujar Firli.
Rinciannya yaitu pada tahun 2019 sejumlah sekitar Rp4,6 miliar, tahun 2020 sejumlah sekitar Rp12 miliar, serta tahun 2021 sejumlah sekitar Rp1,8 miliar.
Sehingga, total uang yang diterima Abdul Wahid sekitar Rp 18,9 miliar.
"Selama proses penyidikan berlangsung, tim penyidik telah mengamankan sejumlah uang dalam bentuk tunai dengan pecahan mata uang rupiah dan juga mata uang asing yang hingga saat ini masih terus dilakukan penghitungan jumlahnya," kata Firli.
Atas perbuatannya, Abdul Wahid disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Jo. Pasal 64 KUHP Jo. Pasal 65 KUHP.