TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus mafia tanah kembali mencuat di Tanah Air, usai artis Nirina Zubir menjadi korban.
Enam sertifikat kepemilikan tanah dan bangunan milik mendiang ibu Nirina Zubir di Jakarta Barat disebut-sebut digelapkan oleh mantan asisten ibunya.
Kerugian mencapai Rp 17 miliar pun harus dialami oleh Nirina.
Mantan wakil menteri luar negeri era SBY Dino Patti Djalal pernah mengalami kejadian serupa pada tahun lalu.
Diketahui, Dino mengalami kerugian mencapai Rp 150 miliar imbas bergantinya kepemilikan sertifikat tanah dan bangunan milik ibunya di Jakarta Selatan.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Sofyan A Djalil menegaskan pihaknya terus berupaya memerangi mafia tanah.
Salah satu langkah yang diambil adalah dengan membuat program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
Melalui PTSL, diharapkan Sofyan seluruh bidang tanah di Indonesia dapat terdaftar sehingga ruang gerak mafia tanah menjadi sulit.
"PTSL ini tujuannya ialah semua tanah di Indonesia nanti bisa kita daftarkan. Jika semua tanah terdaftar sudah ada koordinatnya, ruang bergerak bagi penjahat untuk memanipulasi menjadi lebih sulit," kata Sofyan, Sabtu (20/11/2021).
Tak berhenti disitu, Kementerian ATR/BPN turut memperbaiki peraturan-peraturan yang ada, guna membatasi ruang gerak mafia tanah serta menciptakan perlindungan, keadilan, dan kepastian hukum dalam bidang pertanahan.
"Kita juga memperbaiki aturan-aturan, memastikan eigendom. Hak girik dan lainnya itu tidak lagi sebagai bukti hak milik, tetapi sebagai petunjuk saja. Melihat ini jadi masalah, girik dimanipulasi sehingga dapat menuntut orang yang mempunyai sertifikat," jelasnya.
"Kepastian hukum itu menjadi suatu persyaratan. Tidak ada negara yang bisa maju kalau kepastian hukumnya tidak ada. Kalau kita bisa menciptakan kepastian hukum maka resource masyarakat tidak terlalu banyak terbuang," kata Sofyan.
Sementara itu, pakar tata kota atau teknik perencanaan kota Universitas Trisakti Yayat Supriatna menegaskan banyaknya korban mafia tanah tak lepas karena adanya celah yang dimanfaatkan oleh para mafia tanah dari kebiasaan masyarakat Indonesia.
Kebiasaan itu adalah mudah mempercayakan sertifikat kepada orang lain, termasuk yang terjadi dalam kasus Nirina Zubir.
Baca juga: Menteri ATR/BPN Komentari Aksi Mafia Tanah di Kasus Nirina Zubir: Jaringan Mereka Memang Luas
Selain itu, para mafia tanah banyak menyasar tanah-tanah yang tidak dirawat atau tidak ditinggali.
Oleh karenanya, Yayat menyarankan agar pemilik tanah untuk selalu menjaga dan merawat tanah yang mereka miliki.
"Jangan pernah melepaskan sertifikat kepada siapapun, apapun alasannya. Kalau sertifikat sudah dilepas, susah ke depannya. Sekali lagi jangan mudah percaya pada orang lain, kasus Nirina itu juga karena kebiasaan mempercayakan asisten untuk bayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Jadi dia tahu lokasi tanahnya dan bangunannya," kata Yayat.
"Sertifikat itu baiknya dikumpulkan di rumah. Tapi tanahnya juga harus dijaga, dirawat, atau ditinggali. Kalau tidak, itu mudah dimanfaatkan para mafia tanah," imbuhnya.
Pakar kebijakan publik Trubus Rahadiansyah melihat maraknya praktik mafia tanah sangat berkaitan dengan aturan dan kebijakan pertanahan yang belum memadai dan cenderung masih konvensional di Indonesia.
Imbasnya aturan dan kebijakan tersebut belum mengakomodasi atau belum bisa mencegah modus-modus baru kejahatan pertanahan.
Tumbuh suburnya mafia tanah juga dikarenakan faktor tidak sinkronnya aturan antarlembaga terkait pertanahan.
"Menurut saya, penegakan hukum saja tidak cukup untuk memberantas (mafia tanah). Aturan di tingkat kelurahan berbeda, kecamatan juga, di BPN nanti juga berbeda. Nah ini juga menjadi celah. Belum lagi ada oknum-oknum yang bermental mafia di dalamnya, lengkap sudah," kata Trubus.
Senada, Direktur Eksekutif Lokataru Iwan Nurdin menyebut kasus-kasus ini terjadi karena adanya persekongkolan di sektor terkait urusan pertanahan, seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN), pemerintahan di desa, pemodal, kelompok preman, hingga aparat penegak hukum.
"Jadi itu adalah satu sirkulasi permainan, mereka ini satu kolaborasi dalam menjalankan prakiek mafia tanah. Kehilangan tanah semacam Nirina Zubir itu praktek mafia tanah kelas biasa banget," ujar Iwan.
"Malah ada praktik mafia tanah yang jauh lebih besar yang sampai sekarang nggak pernah diberantas. Jadi praktik-praktik itu kenapa nggak bisa diselesaikan ya karena sudah kolaborasi dengan aparat penegak hukum juga. Jadi praktik itu bisa terus berjalan," katanya.
Baca juga: Eks ART Hidup Mewah, Nirina Zubir Sakit Hati, Sebab Ibunya Belum Nikmati Hasil Jerih Payahnya
Menyikapi adanya persekongkolan dalam praktek mafia tanah, pakar hukum pidana Universitas Al Azhar Suparji Ahmad menyebut pemberian sanksi administratif menurutnya tidak cukup apabila melihat dampak atau kerugian yang ditimbulkan.
Dia pun mendorong agar setiap pelaku kejahatan ini tak hanya dibawa ke ranah administratif melainkan pidana juga.
"Yang perlu dilakukan adalah membawa setiap pihak yang terlibat ke ranah pidana, bukan lagi ranah administratif. Jika ditemukan gratifikasi, suap atau hal lain maka tindak tegas saja tanpa kompromi. Seret ke pidana dengan memperhatikan unsur-unsur pidana pula," kata Suparji. (Tribunnetwork/Vincentius Jyestha)