Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PKS Mulyanto meminta Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan, tidak lepas tangan dengan banyaknya tenaga kerja asing (TKA) China di industri smelter nikel.
Apalagi dengan alasan, bahwa Indonesia tidak memiliki SDM untuk itu.
Sementara ditengarai banyak TKA yang bekerja di industri smelter tidak berkualifikasi tenaga ahli.
Di antaranya malah datang ke Indonesia dengan visa turis.
Kondisi ini, kata Mulyanto, sangat merugikan tenaga kerja domestik dan pemasukan pajak negara.
"Masak TKA yang datang pada industri smelter ini berkualifikasi pekerja kasar dan dengan visa kunjungan. Ini kan merugikan kita. Pemerintah tentunya harus memastikan soal ini, agar tidak menjadi isu liar di tengah masyarakat," kata Mulyanto, dalam keterangannya, Selasa (23/11/2021).
Baca juga: Catat Rekor Tertinggi, PMI Manufaktur Indonesia Kembali Lampaui China dan Korea
Mulyanto menilai Indonesia memilikI SDM yang siap untuk dilatih mengelola smelter.
Smelter milik pengusaha domestik juga ada dan saat ini Mind ID dan PT Aneka Tambang sedang gencar membangun pabrik Feronikel di Halmahera dengan kapasitas 13,500 nikel dan Smelter Grade Alumina (SGA) di Mepawah, Kalimantan Barat dengan kapasitas 2 juta ton per tahun. Begitu juga smelter PT. Freeport Indonesia di Gresik.
"SDM Indonesia dapat disiapkan untuk mengelola smelter. Cuma kebijakan politik Pemerintah saja yang tidak memihak dan tegas terkait alih teknologi ini," ujarnya.
Menurutnya, kebijakan pemerintah terlalu memanjakan pengusaha smelter asing. Harusnya ada kebijakan atau perjanjian semacam offset yang mewajibkan pekerjaan kelas menengah dan buruh diserahkan untuk tenaga kerja domestik, tidak bulat-bulat mendatangkan TKA.
"Kalaupun ini tidak bisa langsung dipenuhi, paling tidak dapat dilakukan secara bertahap melalui mekanisme pelatihan alih teknologi. Ini soal pilihan kebijakan dari pemerintah dan perhanjian dengan pihak asing," ucapnya.
Selain soal TKA, Mulyanto juga mendesak pemerintah terus mengevaluasi pelaksanaan program hilirisasi nikel ini.
Menurutnya jangan sampai nilai tambah dan efek pengganda (multiflyer effect) dari program ini jauh dari apa yang dijanjikan Pemerintah.
"Hilirisasi nikel ini kan program yang bagus, agar kita tidak mengekspor bahan mentah, tetapi bahan jadi dengan nilai tambah tinggi. Dengan demikian, penerimaan Negara akan meningkat. Selain itu dapat menyerap banyak tenaga kerja lokal," ucapnya.
"Namun, kalau prakteknya yang dihasilkan hanyalah produk nikel setengah jadi dengan nilai tambah rendah dan maraknya TKA berkualifikasi kasar. Tentu ini akan mengecewakan kita. Ini tidak sesuai dengan harapan," tandasnya.
Untuk diketahui saat ini, sebanyak 80 persen dari produk yang dihasilkan industri smelter nasional adalah bahan setengah jadi feronikel yang berkadar rendah (NPI).
Hanya 20 persen hasilnya berupa stainless steel (SS). Bahan nikel murni untuk industri baterai belum ada.
Karenanya nilai tambah industri smelter ini hanya mencapai 3-4 kali dari bahan mentahnya. Tidak sebesar 19 kali sebagaimana yang dijanjikan pemerintah.