News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Komnas HAM: Peran DPR Tidak Bisa Dimaknai Berwenang Menilai Pelanggaran HAM Berat Atau Bukan

Penulis: Gita Irawan
Editor: Adi Suhendi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Komisioner Komnas HAM RI M Choirul Anam.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM RI M Choirul Anam mengatakan peranan DPR tidak bisa dimaknai berwenang menilai adanya suatu pelanggaran HAM berat atau tidak, tetapi lebih kepada prosedur administratif.

Ia menjelaskan bagi Komnas HAM dasar penyelesaian kasus pelanggaran HAM Berat tersebut ada pada Undang-Undang 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Menurutnya, sampai detik ini penyelesaian kasus pelanggatan HAM di luar mekanisme tersebut tidak ada basis hukum yang bisa dijadikan dasar.

Sehingga narasi bahwa adanya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) belum ada dasar hukumnya.

Terkait hal tersebut, kata Anam, dalam UU 26 nomor 2000 DPR harus merekomendasikan adanya pengadilan HAM Ad Hoc.

Tapi menurutnya harus diingat adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang substansinya mengatur bahwa DPR sifatnya hanya menyetujui dalam konteks kasus pengadilan ad hoc kasus pelanggaran HAM yang berat.

Baca juga: Soal Pendekatan Operasi Teritorial di Papua, Komnas HAM: Hilangkan Curiga dan Stigma

Putusan MK yang dimaksud Anam yakni Nomor 18/PUU-V/2007.

Menurut Anam hal tersebut di antaranya karena DPR bukan penegak hukum dan DPR tidak punya perangkat untuk menyatakan hal tersebut.

Hal tersebut dikatan Anam usai melakukan Diskusi Terbatas "Refleksi Penanganan Kasus Pelanggaran HAM Melalui Mekanisme Pemantauan dan Penyelidikan Tahun 2021" di Hotel Royal Kuningan Jakarta, Jumat (26/11/2021).

"Jadi peranan DPR dalam pelanggaran HAM Berat itu bukan soal menilai ini pelanggaran HAM yang berat atau tidak tapi dia bagian dari prosedur administratif semata. Jadi tidak bisa dimaknai dia sebagai yang bisa menilai pelanggaran HAM berat atau bukan," kata Anam.

Karena itu, kata dia, status kasus pelanggaran HAM berat bisa diselesaikan Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.

Apabila Komnas HAM dan Kejaksaan Agung sudah mengatakan peristiwa tersebut pelanggaran HAM berat, kata dia, maka DPR tinggal menyetujuinya.

Baca juga: Sebelum ke Papua, Panglima TNI Diharapkan Bertemu Komnas HAM

"DPR tinggal mengamini saja, proses mengadministrasikannya," kata dia.

Diberitakan sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menjelaskan saat ini ada 13 kasus pelanggaran HAM berat yang disampaikan Komnas HAM kepada pemerintah.

Dari 13 berkas kasus tersebut, kata dia, 9 di antaranya adalah peristiwa pelanggaran HAM sebelum lahirnya Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang peradilan HAM.

Menurut Undang-Undang, kata Mahfud, penyelesaian 9 kasus HAM berat sebelum tahun 2000 tersebut nantinya dengan persetujuan atau permintaan DPR.

"Jadi bukan Presiden yang ambil keputusan, tapi DPR. Kalau DPR menganggap rekomendasi Komnas HAM itu harus ditindaklanjuti, DPR yang nanti menyampaikan ke presiden. Yang penting nanti didiskusikan dulu di DPR apa bisa ini dibuktikan, bagaimana jalan keluarnya," kata Mahfud.

Sementara 4 kasus sisanya, kata dia, saat ini sedang ditangani pemerintah.

Baca juga: Komnas HAM Dukung Jaksa Agung Mulai Penyidikan Untuk Selesaikan Kasus Pelanggaran HAM Berat

Empat kasus tersebut, kata dia, terjadi setelah tahun 2000.

Dari keempat kasus tersebut, kata Mahfud, ada satu yang terjadi di era pemerintahan Jokowi yaitu peristiwa Paniai.

Kasus tersebut, kata dia, diduga melibatkan TNI.

"Nanti yang menyangkut TNI ini Bapak Panglima akan berkoordinasi dengan kita. Pokoknya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang baik prosedurnya maupun pembuktiannya nanti akan dianalisis akan kita selesaikan, koordinasi Panglima, bersama Kemenko dan Kejakasaan Agung tentu saja yang di lapangan," kata Mahfud.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini