TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Seorang guru di Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), Wilfridus Kado, menceritakan pengalaman pahitnya menjadi seorang guru honorer.
Menurut Wilfridus, selama ini kesejahteraan guru honorer di NTT masih belum terpenuhi. Bahkan pria yang telah mengajar sejak 2015 itu mengaku hanya menerima gaji Rp 700 ribu sebulan.
"Saya lihat upah guru minimum di NTT. Tidak sesuai upah minimum. Saya sudah 6 tahun menjadi guru," ucap Wilfridus dalam diskusi interaktif daring, Sabtu (27/11/2021).
Wilfridus menyebut gaji yang ia terima saat awal menjadi guru honorer bahkan jauh lebih kecil. Pada 2015 dia hanya menerima upah Rp 400 ribu per bulan.
Baru pada 2018 gajinya meningkat menjadi Rp 700 ribu per bulan.
Wilfridus dengan tegas menyatakan, upah tersebut sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Karena di kampung sendiri, dia dan juga rekan guru honorer lainnya mencari nafkah sampingan dengan berkebun, berternak, atau berjualan setelah pulang mengajar.
"Sangat-sangat tidak cukup. Saya di sini kebetulan di kampung sendiri, pulang sekolah itu makan, setelah makan kita kerja kebun, beternak, di sini," tutur dia.
Sejak enam tahun lalu menjadi guru honorer, Wilfridus telah berjuang demi status guru pegawai negeri sipil (PNS).
Dia mengaku selalu mengikuti program pemerintah yang berkaitan dengan seleksi guru PNS, termasuk seleksi guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
"Ada PPPK kita ikut, UKG kita ikut," katanya.
Perjuangan itu dilakukan demi kesejahteraannya sebagai guru untuk mendapatkan upah yang layak.
Sebab, menurut Wilfridus, selain nominal yang tidak mencukupi untuk kehidupan sehari-hari, gaji guru honorer pun tidak jelas. Apalagi, hal ini bisa memengaruhi aktivitas mengajar di sekolah yang menjadi tidak maksimal.
Sementara, kebutuhan terhadap guru di daerahnya pun belum memadai.
"Karena ini berkaitan dengan upah juga, kalau upah untuk PNS ini kan menjanjikan, kalau honorer ini kan kalau bisa dibilang tidak jelas. Terkadang kebutuhan tidak mencukupi memengaruhi ke sekolah juga, masih mengajar, tapi seperti tidak maksimal,"
ucap Wilfridus.
Bagi Wilfridus, Hari Guru Nasional yang jatuh pada 25 November kemarin seakan hanya seremonial.
Baca juga: Nadiem Makarim: PGRI Jadi Rumah Bagi Guru untuk Belajar
Perayaan atau peringatan hari guru pun menurutnya tidak bermakna.
"Biasa saja hari guru itu. Hanya seremonial saja. Sampai saat ini saya belum melihat makna itu karena saya lihat upah guru sangat minim di NTT, tidak sesuai dengan standar minimum," kata dia.
Sementara itu dalam diskusi yang sama Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo mengungkapkan saat ini masih ada guru yang berstatus sebagai honorer meski telah masuk masa pensiun.
Ia mengungkapkan guru tersebut urung diangkat menjadi ASN hingga umurnya yang mencapai 60 tahun.
"Data terakhir kami di SMP Negeri 52 ada seorang guru honorer yang 1 November ini usia 60 tahun. Statusnya masih honorer. Sudah lama berjuang sampai usia pensiun pun belum ada perubahan," ungkap Heru.
Menurut Heru, guru tersebut tidak bisa pensiun sehingga akhirnya berstatus sebagai pegawai Kontrak Kerja Individu (KKI).
Padahal, menurut Heru, guru tersebut sudah mengabdi sejak tahun 2003. Namun belum juga diangkat sebagai ASN.
"Purna tugas ya sebagai guru honorer, statusnya sebagai KKI. Jadi begitu 1 September. Sudah selesai pekerjaan beliau," tutur Heru.
Heru mengungkapkan banyak guru honorer yang mengalami nasib seperti ini. Meski puluhan tahun mengabdi, namun urung diangkat sebagai ASN.
"Memang banyak tahun ini dan tahun yang akan datang. Honorer KKI kelahiran tahun 66, 65, 64. Yang tahun 61 ini mereka memasuki purna tugas. Yang 62 tahun depan mereka memasuki purna tugas," kata Heru.
Heru menjelaskan kendala yang dihadapi para guru honorer berusia tua untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS), lantaran rekrutmen CPNS yang dilaksanakan pemerintah berjalan lambat, sehingga para guru honorer yang telah berusia tua terganjal persyaratan usia.
"Kendalanya tentu faktor usia mereka. Kemudian rekrutmen CPNS selama ini kan lambat kondisinya. Kemudian termakan usia persyaratan tidak memasuki saat mengikuti terakhir PKKK itu juga tidak masuk dalam kategori," ucap Heru.
Sehingga kata Heru, guru honorer yang telah memasuki purna tugas harus beralih menjadi pegawai Kontrak Kerja Individu (KKI).
Pendapatan guru dengan status KKI di daerah, kata Heru, sangat tidak memadai. Berbeda dengan guru KKI di DKI Jakarta.
"Di daerah sangat memprihatinkan. Di DKI Jakarta yang sekolah negeri relatif sejahtera," tutur Heru.
Selain itu, guru dengan status KKI, menurut Heru, tidak mendapatkan tunjangan pensiun. Setiap tahunnya, guru dengan status KKI bahkan harus mengajukan permohonan agar diangkat kembali.
"Artinya mereka itu purna tugas. Sudah tidak ada ikatan administrasi," ungkap Heru.(tribun network/fah/dod)