TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM RI Beka Ulung Hapsara membeberkan empat jenis hak korban berinisial MS yang dilanggar dalam kasus perundungan dan pelecehan seksual di lingkungan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat.
Beka mengatakan hak pertama adalah terkait hak atas rasa aman, bebas dari ancaman kekerasan dan perlakuan tidak layak.
Ia menjelaskan hak tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 G, Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, serta pasal 33 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.
Beka mengatakan adanya aksi penelanjangan dan pencoretan organ reproduksi terhadap MS adalah bentuk tindakan yang merendahkan harkat dan martabat manusia.
Akibat dari peristiwa tersebut, kata Beka, mengalami trauma, stress, merasa rendah diri yang berdampak pada kesehatan fisik korban serta hubungan rumah tangga korban.
Selain itu, kata dia, MS juga mengalami berbagai perundungan dari rekannya baik secara fisik maupun verbal.
"Sehubungan dengan hal tersebut maka peristiwa yang dialami MS menunjukkan adanya pelanggaran HAM terutama terbebas ancaman, kekerasan dan perlakuan yang tak layak," kata Beka di kantor Komnas HAM RI Jakarta yang juga disiarkan secara virtual pada Senin (29/11/2021).
Kedua, kata Beka, HAM korban yang juga dilanggar adalah hak atas rasa aman khususnya atas privasi dan perlindungan dari ancaman ketakutan.
Baca juga: Kasus Perundungan MS, Komnas HAM: KPI Pusat Gagal Ciptakan Lingkungan Kerja Sehat, Aman, dan Nyaman
Hak tersebut, kata Beka, sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 G ayat 1, Undang-Undang 39 tahun 1999 pasal 30, pasal 9, dan 17, serta Kovenan Internasional Hak Sipil Politik.
Ketiga, kata Beka, adalah hak untuk bekerja dan memiliki tempat kerja yang adil dan aman.
Beka mengagakan hal tersebut juga didasarkan pada pasal 28 G ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945.
Peristiwa perundungan dan pelecehan terhadap MS, kata dia, menunjukkan bahwa lingkungan kerja di KPI tidak aman, intimidatif dan tidak penuh penghormatan.
Hal tersebut, kata dia, membuat MS sering kali keluar ruangan untuk menghilangkan perasaan ketidaknyamanan, menghindari pelaku, dan potensi perundungan lainnya.
Bahkan, kata dia, MS juga keluar dr grup WhatsApp internal unit Visual Data karena turut mendapatkan perundungan secara verbal.
"Situasi dan kondisi yang dialami MS menunjukkan bahwa terjadinya pelanggaran hak asasi manusia untuk bekerja dan memiliki tempat kerja yang adil aman," kata Beka.
Terakhir, adalah hak atas kesehatan fisik dan mental.
Terkait dengan dampak kerugian yang dialami MS.
Akibat perundungan dan pelecehan seksual tersebut, kata Beka, ditemukan beberapa tindakan yang dinilai sebagai pelanggaran HAM atas standar kesehatan fisik dan mental.
Pertama, kata dia, perundungan dan pelecehan seksual telah mengubah pola mental yang kemudian menimbulkan perasaan stress dan hina serta trauma berat kepada korban MS.
Korban MS, kata dia, sering kali teringat peristiwa pelecehan yang membuat emosinya tidak stabil.
Selain itu, kata dia, Ms didiagnosa mengalami penyakit hipersekresi cairan lambung di tahun 2017 dan PTSD di tahun 2019.
Adapun hasil pemeriksaan oleh psikolog di tahun 2019 tersebut, kata dia, masih konsisten dengan hasil pemeriksaan oleh psikolog yang difasilitasi oleh LPSK.
Selain itu, kata dia, masalah kesehatan fisik dan mental juga berdampak pada hubungan rumah tangga MS dan istrinya.
"Bahwa masalah kesehatan mental dan fisik yang dihadapi MS menunjukkan adanya pelanggaran terhadap hak atas kesehatan sebagaimana dijamin Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H ayat 1 dan Kovenan Internasional hak ekonomi sosial budaya bahwa hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental," kata Beka.