TRIBUNNEWS.COM - Komnas Perempuan menyebut Indonesia darurat kekerasaan seksual karena meningkatnya kasus yang terjadi.
Bukan saja karena banyaknya kasus yang dilaporkan, tetapi juga daya penanganan untuk kasus kekerasaan seksual sangat terbatas.
Akibatnya banyak kasus yang bisa jadi tidak terlaporkan dan bila dilaporkan tidak tertangani dengan baik.
Saat ini, jumlah aduan yang diterima Komnas Perempuan terkait kekerasan terhadap perempuan meningkat.
Peningkatannya hingga dua kali lipat dari tahun 2020.
Baca juga: Komnas Perempuan: Kisah Tragis NWR Alarm Darurat Kekerasan Seksual, Sahkan RUU TPKS
"Kasus almarhumah (mahasiswi di Mojokerto) di Komnas Perempuan, salah satu di antara 4.500 yang diterima tahun ini dari Januari sampai Oktober 2021 dan beragam pengaduannya."
"Dua kali lipat dari kasus tahun 2020," kata Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi dalam konferensi pers secara daring, Senin (6/12/2021).
Dengan sumber daya yang sangat terbatas, Komnas Perempuan berupaya untuk membenahi sistem untuk penyikapan pengaduan.
Mulai dari verifikasi kasus, pencarian lembaga rujukan dan pemberian rekomendasi.
Siti Aminah menambahkan, lonjakan kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan mengakibatkan antrian kasus itu semakin panjang.
Dari 4.500 kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan, kasus kekerasaan seksual yang dialami mahasiswi di Mojokerto menjadi salah satunya.
Korban NWR diketahui meninggal tepat di pusara ayahnya di pemakaman umum Desa Japan, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Kamis (2/12/2021).
Korban meninggal bunuh diri diduga karena meminum racun.
Komisioner Komnas Perempuan, mengungkapkan, korban NWR adalah korban kekerasan yang bertumpuk dan berulang ulang dalam durasi hampir dua tahun sejak 2019.
"Ia (korban NW) terjebak dalam siklus kekerasan di dalam pacaran yang menyebabkannya terpapar pada tindak eksploitasi seksual dan pemaksaan aborsi.
"Saat menghadapi kehamilan yang tidak diinginkan, pacar NWR yang berprofesi sebagai anggota kepolisian memaksanya untuk menggugurkan kehamilan dengan berbagai cara."
"Memaksa meminum pil KB, obat-obatan dan jamu-jamuan, bahkan pemaksaan hubungan seksual karena beranggapan akan dapat menggugurkan janin," katanya.
Baca juga: Kesaksian Penjaga Makam Lihat Mahasiswi NWR sebelum Bunuh Diri: Setiap Hari Datang ke Makam Ayah
Lebih lanjut, Siti Aminah mengungkapkan, peristiwa pemaksaan aborsi bahkan terjadi hingga dua kali.
Pada kali kedua, bahkan korban sampai mengalami pendarahan, trombosit berkurang dan jatuh sakit.
Dalam keterangan korban, pemaksaan aborsi oleh pelaku juga didukung oleh keluarga pelaku yang awalnya menghalangi perkawinan pelaku dengan korban.
Keluarga pelaku beralasan, masih ada kakak perempuan pelaku yang belum menikah dan kemudian menuduh korban sengaja menjebak pelaku agar dinikahi.
Pelaku juga diketahui memiliki hubungan dengan perempuan lain, namun pelaku bersikeras tidak mau memutuskan relasinya dengan korban.
Selain berdampak pada kesehatan fisik, kata Komisioner Komnas Perempuan, korban juga mengalami gangguan kejiwaan yang hebat.
Ia merasa tidak berdaya, dicampakkan, disia-siakan, berkeinginan menyakiti diri sendiri dan didiagnosa obsessive compulsive disorder (OCD) serta gangguan psikosomatik lainnya.
Peristiwa ini pun menjadi pelajaran dan menjadi alarm keras pada kondisi darurat kekerasan seksual di Indonesia.
Di mana kasus kekerasaan seksual di Indonesia membutuhkan tanggapan serius dari aparat penegak hukum, pemerintah, legislatif dan masyarakat.
Menurut Andy Yentriyani, Komisioner Komnas Perempuan, daya penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan sangat rapuh.
Apalagi di tengah kondisi layanan yang sangat terbatas kapasitasnya menghadapi lonjakan pelaporan kekerasan seksual yang semakin tinggi dengan jenis kasus yang semakin kompleks.
Ia menyebutkan, Indonesia darurat kekerasaan seksual.
Bukan saja karena kasusnya banyak dan dilaporkan dan kompleks, tetapi memang daya penanganan untuk kasus kekerasaan seksual sangat terbatas.
Sehingga diharapkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual bisa segera disahkan.
"Rasanya pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual merupakan kunci yang penting."
"Mengingat bahwa dalam RUU ini selain memutus impunitas dari pelaku tetapi juga memberikan penekanan yang sangat besar terhadap pemulihan korban yang saat ini kapasitasnya terbatas," tutur Andy.
(Tribunnews.com/Suci Bangun DS)
Simak berita lainnya terkait Mahasiswi Bunuh Diri