"Bahkan ke kearifan lokal kita itu mengajarkan, ya hampir mirip lah dengan agama, derita yang disebut karma. Kamu boleh bebas karena pintar kamu menghindar dari hukum, tapi karma akan datang kepadamu," kata Mahfud.
Menurutnya ada pandangan di masyarakat yang menyebut bahwa koruptor akan mendapatkan karma meskipun bisa lolos dari jerat hukum.
Masyarakat, kata Mahfud, memandang karma tersebut akan menimpa keluarganya.
"Maka kalau orang-orang jauh cerita, itu anaknya hancur berantakan, kenapa? Karena bapaknya korupsi. Itu dia makan uang haram, anaknya terlibat narkoba. Dia makan uang haram anaknya tertangkap memperkosa orang, atau diperkosa orang, atau apa. Itu orang sering menyebut itu karma. Meskipun tidak mutlak seperti itu ya. Memang kejahatan pemerkosaan, narkoba, itu sesuatu yang berdiri sendiri," kata Mahfud.
Mahfud bercerita, seorang hakim pernah menyimpan uang miliaran rupiah yang dititipkan ke teman hakim tersebut karena takut untuk melaporkannya ke KPK.
Namun demikian, sesudah pensiun, teman hakim tersebut lari bersama uang yang dititipkan hakim tersebut.
"Akhirnya sakit. Sakitnya apa? Di Malang, duduk begini, kalau mau tidur harus disuntik, kalau mau bangun harus disuntik. Uangnya banyak, tapi tidak ada gunanya. Itulah karma. Yang harus ditakuti ya itu yang kayak begitu. Jangan hanya masuk penjara. Di borgol itu mungkin tiga tahun, empat tahun, ya bisa 20 tahun. Tapi banyak yang kayak begitu orang tidak takut," kata Mahfud.
Untuk itu, kata Mahfud, budaya antikorupsi harus dibangun dengan cara mengamalkan Pancasila baik sebagai dasar negara maupun selain sebagai pandangan, kesepakatan hidup, dan sebagainya, yang belum tentu menjadi hukum.
"Karena banyak hal-hal yang tidak menjadi hukum dari nilai-nilai baik itu. Dan itu dikawal oleh kesadaran moral, oleh hati nurani," kata Mahfud.