Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politikus Partai Gelora, Fahri Hamzah mengaku pernah 'diadili' lantaran mengkritik Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Peristiwa itu terjadi tak berselang lama usai dirinya lengser sebagai anggota DPR RI.
"Saya pernah diadili di satu tempat, gara-gara mengkritik Pak Anies," kata Fahri dalam Program Pangeran di kanal YouTube Asumsi seperti dikutip Jumat (10/12/2021).
Eks politikus PKS ini mengatakan pihak yang mengadilinya merupakan salah satu komunitas pendukung Anies.
Baca juga: Pemilu 2024 Harus Zero Accident, Fahri Hamzah: Penyelenggara Perlu Mitigasi Pemilu Serentak 2019
Namun dia enggan menyebut secara spesifik komunitas tersebut.
Mereka mengadili dirinya karena alasan melayangkan kritik kepada Anies.
Fahri sendiri mengaku heran saat mendengar alasan tersebut.
Dia pun menjelaskan bahwa dirinya pernah jadi pendukung Anies.
"Di situ saya menyadari, ini hanya massa mencari pahlawan untuk mengorganisir kekecewaannya yang terus menerus. Dan ini tidak rasional," ungkapnya.
"Itulah yang menurut saya, kalau kita membiarkan politik ditentukan oleh massa yang tidak rasional maka pasti kekecewaannya akan setiap saat tidak selesai," sambung Fahri.
Fahri menilai kejadian yang dialaminya merupakan imbas dari penentuan politik dari massa yang tak rasional.
Kata dia, demokrasi punya anomali luar biasa yang dipengaruhi oleh ide, transparansi, keterbukaan dan mayoritas.
Tapi di sisi lain, ide yang muncul tercampur aduk dengan rangkaian irasionalitas sehingga masyarakat tak pernah punya kesamaan dialog.
Sehingga menurutnya yang terpilih dari proses politik bukan karena politik akal tapi lebih condong ke politik emosi.
"Tapi di sisi lain, ini ada peristiwa yang sangat kasar, yaitu mencoblos. Yang kadang, antara ide ini, begitu hebat, dengan ini itu nggak ada hubungannya. Apalagi, apabila di tengahnya, dipenuhi oleh rangkaian irasionalitas. Emosi. Yang diaduk-aduk terus-menerus. Sehingga kita tidak pernah meneruskan satu dialog. Karena yang terpilih sebenarnya atau yang terjadi, bukan politik akal, tapi politik emosi. Politik mood," terang dia.