TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -Selain sebagai pakar hukum internasional, Mochtar Kusuma-atmadja dikenal sebagai diplomat ulung. Kepiawaian Mochtar bukan saja dalam melobi pemimpin-peminpin negara asing, tapi juga sisi kemanusiaannya yang sangat menonjol dan diapresiasi dunia internasional.
Begitu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri pada 1978, Mochtar langsung dihadapkan pada persoalan pengungsi Vietnam. Pengungsi Vietnam ini dikenal sebagai “manusia perahu”.
Gelombang pengungsi Vietnam yang kemudian terombang-ambing di tengah laut Cina Selatan, dipicu perang antara Vietnam Selatan yang berhaluan liberalis dan didukung Amerika Serikat dengan Vietnam Utara yang berhaluan komunis dan didukung Tiongkok dan Uni Soviet. Perang itu terjadi antara 1957-1975.
Vietnam Selatan yang dibantu AS kalah dan dikuasai oleh Vietnam Utara pada 30 April 1975. Kemudian pada 2 Juli 1976 kedua Vietnam pun menyatu dan berhaluan komunis.
Warga Vietnam Selatan yang tidak menganut paham komunis merasa tidak terlindungi, jauh dari aman, nyaman dan damai. Mereka akhirnya meninggalkan negaranya menuju negara seperti Australia, Selandia Baru, dan Indonesia.
Baca juga: Perkataan Sintong Panjaitan kepada Prabowo Jadi Kenyataan 34 Tahun Kemudian
Tak sedikit “manusia perahu” itu yang tewas di tengah laut Cina Selatan, baik anak-anak, orang tua dan orang dewasa. Ada yang tenggelam ditelan ganasnya gelombang, ada juga yang tewas di tangan para pembajak.
Patroli Angkatan Laut Indonesia menemukan para pengungsi yang mengapung di lautan kemudian terdampar di Kepulauan Riau.
Indonesia, dengan Menteri Luar Negeri Mochtar Kusuma-atmadja kemudian berinisiatif menolong manusia perahu itu. United Nation High Commision for Refugees (UNHCR) sebagai lembaga PBB yang mengurusi pengungsi lumayan kelimpungan menghadapi manusia perahu.
Mochtar tak tinggal diam. Untuk membantu PBB, pada 21 Februari 1979 ia menggelar pertemuan para menteri luar negeri ASEAN di Bangkok. Kesepakatan pun tercapai. Intinya, ASEAN sepakat membantu saling meringankan dalam menolong manusia perahu; antara lain menyediakan penampungan sementara dan logistik, dan negara ketiga yang jadi tujuan pengungsi agar menerima mereka sebagau pemukim permanen.
Mochtar kemudian mengusulkan Pulau Galang di Kepulauan Riau untuk dijadikan penampungan manusia perahu. Pulau Galang lokasinya sekitar 50 KM dari Kota Batam.
Pada 20 Juni 1979 dibuka areal seluas 170 hektar untuk menampung manusia perahu. Kapasitas Pulau Galang sebenarnya hanya untuk 10.000 orang, tapi kenyataannya menampung 20.000 pengungsi.
UNHCR kemudian membangun pemukiman lengkap dengan fasilitas. Di Pulau Galanga ada 500 pengungsi yang tewas karena sudah tua, sakit dan depresi mental.
Dalam kesaksiannya, diplomat senior Abdul Irsan menulis dalam bukunya ‘Hari-hari yang Mendebarkan: Catatan Seorang Diplomat’, ed. Hery Sucipto & Ahmadun Y Herfanda, Grafindo Jakarta, 2007), “Menlu Mochtar Kusumaarmadja melakukan kunjungan ke beberapa negara Asia Tenggara, melaksanakan pemikiran beliau menyelesaikan masalah mengalirnya manusia perahu dari Vietnam, dan setelah bekerjama dengan UNHCR akhirnya berhasil menjadikan Pulau Galang sebagai penampungan sementara.”
Berkat kepedulian Mochtar dan strategi diplomasinya, akhirnya pada 2 Oktober 1993, Vietnam menyatakan kepada Indonesia dan UNHCR bersedia menerima Kembali para pengungsi dengan menjamin keamanan dalam kehidupannya.
Sekitar 5000 pengungsi Vietnam pulang ke kampung halamannya setelah 17 tahun (1979-1996) hidup di Pulau Galang. Sisanya menuju ke tanah airnya yang baru di negara ketiga yang jadi tujuannya, seperti Amerika Serikat dan Australia. Pada 1996, seluruh pengungsi Vietnam telah meninggalkan Pulau Galang.
Pulau Galang kemudian ditetapkan jadi “museum hidup”, sebagai bukti Indonesia kepada internasional bahwa Indonesia memiliki komitmen pada nilai-nilai kemanusiaan. Pulau Galang menjadi kenangan manis Mochtar Kusuma-atmadja.(cep).
*Seperti dikisahkan dalam ‘Rekam Jejak Kebangsaan Mochtar Kusuma-atmadja, disusun Nina Pane, Penerbit Buku Kompas, 2015.
Baca juga: Sintong Panjaitan Terpaksa Tinggalkan Kuliah di AS Gerara Gugatan Rp 12 Miliar