TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kasus yang terjadi di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo menurut Presiden Asosiasi Ahli Hukum Pidana Indonesia, Muhammad Taufik sebagai korupsi yang dilakukan penegak hukum atau disebut Judicial Corruption.
Ia menjelaskan, Judicial Corruption adalah korupsi pasal yang pelakunya adalah penegak hukum.
Korupsi seperti ini menurutnya lebih jahat ketimbang korupsi uang.
“Kita lihat kasus judicial corruption itu yang terjadi sekarang ini dengan SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/20/2021 tentang Pembaruan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah bagi Bendungan Wonosobo, atau kita mengenalnya sebagai Desa Wadas,” kata Taufik di Diskusi Forum Tebet, Selasa (9/2/2022).
Taufik mengatakan izin penetapan lokasi itu sendiri sebenarnya sudah melanggar.
Karena dalam prosesnya hal itu melanggar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Hal ini juga melanggar UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Undang-Undang ini menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan di dalam upaya meningkatkan kepemerintahan yang baik (good governance) dan sebagai upaya untuk mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Baca juga: Mengenal Bendungan Bener, Proyek Pembangunan yang Jadi Akar Persoalan Desa Wadas Diserbu Aparat
Dengan demikian, Undang-Undang ini harus mampu menciptakan birokrasi yang semakin baik, transparan, dan efisien.
Yang terjadi di Desa Wadas menurutnya juga melanggar PP Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Taufik mengatakan pertambangan bahan-bahan andesit sebagaimana yang dilakukan di Desa Wadas tidak termasuk pembangunan yang kategorinya kepentingan umum.
“Itu jelas diatur di Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah dan sebagaimana yang diubah pada Pasal 123 (2) UU 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Pasal 2 PP 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,” lanjutnya.
Ribuan personil aparat kepolisian berperalatan lengkap yang merangsek masuk ke Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo tanpa pemberitahuan pada Selasa (8/2/2022), dikecam oleh netizen Indonesia dengan trendingnya tagar Wadas di Twitter.
Sebagaimana dilaporkan WALHI dalam siaran persnya, Kepolisian berdalih tengah mengawal proses pengukuran lahan yang dilakukan oleh tim pengukuran dari Kantor Pertanahan Purworejo.
Namun, aksi Kepolisian di lokasi dibarengi dengan intimidasi dan pengepungan di beberapa titik lokasi rumah warga dan masjid yang sedang digunakan untuk mujahadah.
Fanny Tri Jambore, Manajer Kampanye Tambang dan Energi WALHI, menyatakan keprihatinannya dan mengutuk keras tindakan Kepolisian.
Pasalnya selain tanpa didahului oleh surat pemberitahuan, kegiatan ini mestinya dihentikan mengingat paska Putusan MK nomor 91/PUU-XVIII/2020 dalam amarnya memerintahkan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas.
“Kegiatan pengadaan tanah untuk quarry Bendungan Bener mestinya dihentikan sebagaimana seluruh PSN yang harus ditangguhkan terlebih dahulu,” ujar Fanny dalam keterangannya.
WALHI meminta penyelenggara negara untuk tunduk terhadap Putusan MK.
Berkaitan dengan quarry yang merupakan kegiatan pertambangan, Fanny menyatakan, mestinya ada IUP untuk sebuah aktivitas yang kaitannya adalah pertambangan.
Baru setelah itu melakukan pembebasan lahan.
“Ini kok quarry untuk Bendungan seperti special kedudukannya. Ia tidak mempunyai IUP dan difasilitasi pengadaan tanahnya, berbeda dengan kebutuhan quarry di proyek kepentingan umum lainnya,” ungkapnya.