TRIBUNNEWS.COM - Mengurus dan merawat jenazah orang yang meninggal adalah suatu hal yang diwajibkan dalam Islam.
Seperti dikutip dari laman Kemenag, orang yang meninggal mempunyai empat hak, yakni hak untuk dimandikan, dikafani, dilayati, dan dikuburkan.
Empat hal tersebut hukumnya adalah fardhu kifayah bagi orang yang masih hidup.
Kewajiban terhadap umat islam yang mana bila telah dilakukan beberapa orang maka gugur kewajiban individu untuk melakukan kewajiban ini.
Jenazah perempuan maka yang merawat adalah juga dari kaum perempuan.
Sementara, untuk jenazah laki-laki, yang merawatnya adalah juga dari kaum laki-laki.
Lantas bagaimana jika jenazah tersebut adalah seorang transgender?
Baca juga: Ini Pernyataan Lengkap Dorce Gamalama Usai Gus Miftah Bahas Wasiat dan Status Transgender
Baca juga: Kerabat Beberkan Tanggapan Dorce Setelah Pernyataannya Soal Wasiat Jadi Kontroversi
Seorang transgender ketika meninggal dunia, maka pengurusan jenazah saat meninggal dikembalikan pada status awal ketika dilahirkan.
“Bagaimana memandikannya, mengkafaninya, mensholatinya, maka dikembalikan kepada status awal ketika dilahirkan," ungkap Sekretaris Komisi Fatwa MUI, KH Mifahul Huda, dilansir laman MUI.
"Itu kalau yang transgender yang mengubah alat kelaminya. Maka dikembalikan kepada asal penciptaanya, yaitu apakah dia laki-laki atau perempuan,” jelasnya.
Dengan demikian, seorang trangender yang jenis kelaminnya dari lahir adalah laki-laki, maka yang mengurus jenazahnya adalah dari kaum laki-laki, pun sebaliknya juga demikian.
Hukum Mengganti Jenis Kelamin
Perlu diketahui, dalam Islam hukum mengubah jenis kelamin adalah sesuatu yang haram.
Tidak dibenarkan seseorang melakukan operasi kelamin untuk menjadi transgender dan ini hukumnya sangat dilaknat menurut ajaran agama Islam.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah telah mengeluarkan Fatwa Nomer 3 pada Munas MUI ketujuh Tahun 2010 Tentang Perubahan dan Penyempurnaan Alat Kelamin.
Dalam fatwa tersebut, perubahan alat kelamin dari laki-laki ke perempuan maupun sebaliknya ialah hukumnya haram, karena ini termasuk mengubah ciptaan Allah SWT.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI, KH Mifahul Huda mengatakan, Allah telah menciptakan manusia dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan meskipun di antara itu terdapat yang tidak sempurna jenis kelaminnya.
Dalam kajian fiqih, hal itu dinamakan khunsa, yakni orang yang mempunyai alat ganda.
Didalamnya terbagi menjadi dua, yakni khuntsa musykil dan khuntsa ghairu musykil.
Khuntsa ghairu musykil yakni kecenderungan kearah salah satu jenis kelamin lebih kuat.
"Misalnya, air kencingnya keluar dari penis atau sebaliknya keluar dari vagina," kata KH Mifahul Huda, dilansir laman MUI.
Sementara khuntsa musykil, kata dia, hal ini cukup sulit untuk diketahui apakah dia ini laki-laki atau perempuan.
Khuntsa musykil biasanya bisa baru diketahui setelah dewasa atau baligh dengan muncul tanda secara fisik.
Misalnya pada perempuan, ditandai dengan fisik pinggul yang besar atau payudara yang mengembang. Sementara laki-laki ditandai dengan bulu kumis dan lainnya.
Baca juga: Hukum Meninggalkan Sholat Jumat, Bagaimana Jika Meninggalkan Tiga Kali Berturut Karena Sakit?
Baca juga: Kolom Jenis Kelamin di E-KTP dan KK untuk Transgender Tetap Diisi Laki-laki atau Perempuan
Untuk penyempurnaan alat kelamin bagi yang mempunyai alat kelamin ganda atau khuntsa hukumnya diperbolehkan.
Sementara untuk pergantian alat kelamin baik dengan operasi maupun penyuntikan hormon hal itu tidak boleh dilakukan dan hukumnya haram.
Dia mengingatkan bahwa dalam syariat agama Islam sangat melarang bagi umatnya untuk berperilaku menyalahi kodratnya.
Contoh, misalnya yang berjenis kelamin laki-laki tetapi berperilaku seperti perempuan maupun sebaliknya, hal itu sangat dilarang agama.
Menurutnya, sudah banyak solusinya di literatur-literatur kajian fiqih jika seseorang memiliki alat kelamin ganda.
(Tribunnews.com/Tio)