TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi I DPR RI Fraksi Partai Golkar Christina Aryani, menilai langkah pemerintah untuk meratifikasi Perjanjian Flight Information Region (FIR) dengan Singapura melalui Peraturan Presiden (Perpres) kurang tepat.
Meskipun FIR mengatur hal teknis, namun juga terkait erat dengan kedaulatan dan karenanya tetap membutuhkan persetujuan DPR dalam pengesahannya.
Christina menjelaskan, berdasarkan Pasal 10 UU No 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional mengatur jenis-jenis perjanjian internasional yang harus disahkan dengan undang-undang dan membutuhkan persetujuan DPR.
Dikatakannya bahwa perjanjian-perjanjian tersebut ditentukan berdasarkan materi yang diaturnya dan bukan nama atau nomenklaturnya.
"Kami berpendapat FIR walaupun mengatur hal teknis, juga terkait erat dengan kedaulatan dan karenanya membutuhkan persetujuan DPR dalam pengesahannya. Tidak tepat ratifikasi melalui Perpres," kata Christina kepada wartawan di Jakarta, Jumat (18/2/2022).
Selain itu, Christina melanjutkan, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 13 Tahun 2018 telah memutuskan pasal 10 inkonstitusional bersyarat sepanjang ditafsirkan hanya jenis-jenis perjanjian dalam Pasal 10 itu saja yang membutuhkan persetujuan DPR.
Baca juga: Mahfud MD: Pemerintah Segera Ratifikasi Perjanjian FIR, DCA, dan Ekstradisi Dengan Singapura
"Apalagi sampai saat ini pemerintah belum pernah menjelaskan secara transparan dan komprehensif kepada DPR apa yang menjadi alasan pendelegasian kembali pengelolaan FIR pada Singapura untuk ketinggian 0-37.000 kaki pasca penandatanganan perjanjian. Ini kami di DPR perlu kejelasan," ujarnya.
Christina mengatakan, pihaknya menyambut baik Indonesia berhasil mengambil pengendalian FIR dari Singapura, namun rilis pemerintah menyatakan pendelegasian pengelolaannya kepada Singapura.
"Ini menimbulkan pertanyaan bagi kami, terlebih Pasal 458 UU No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan mengamanatkan wilayah udara yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain harus dievaluasi dan dilayani oleh lembaga Indonesia paling lambat tahun 2024," ucap Christina.
"Jadi banyak sekali hal butuh penjelasan dari pemerintah. Dan karena itu tidak bisa serta merta terbit Perpres tanpa melibatkan proses di DPR RI yang adalah representasi rakyat," pungkas Christina.
Diberitakan sebelumnya, pemerintah Indonesia segera meratifikasi tiga perjanjian dengan Singapura.
Menko Polhukam Mahfud MD mengungkapkan ketiga perjanjian akan diserap ke dalam dua bentuk produk hukum yang berbeda.
Flight Information Region (FIR) antara kedua negara akan diratifikasi ke dalam peraturan presiden (perpres).
Sementara itu untuk perjanjian ekstradisi dan Defense Coperation Agreement (DCA) diproses dalam bentuk undang-undang (UU) melalui DPR.
"Yang diminta ratifikasi dalam bentuk UU ke DPR hanya dua yakni Perjanjian Ekstradisi dan Penjanjian DCA. Sedangkan yang Perjanjian FIR cukup diratifikasi dengan Peraturan Presiden (Perpres)," ungkap Mahfud dalam keterangannya, Rabu (16/2/2022).