News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pentingnya Moderasi Beragama dan Kebangsaan Bagi Kalangan Millenial

Penulis: Toni Bramantoro
Editor: Adi Suhendi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Webinar nasional Moderasi Beragama dengan tema Moderasi Beragama dan Kebangsaan Bagi Kalangan Millenial.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Moderasi agama adalah suatu kebutuhan di tengah krisis humanisme dan radikalisme.

Hal itu disampaikan Ketua Umum PB Ikami SulSel, Muhammad Iqra Zulfikar Wisnu dalam sebuah webinar nasional Moderasi Beragama dengan tema Moderasi Beragama dan Kebangsaan Bagi Kalangan Millenial.

"Di sini sangat dibutuhkan peran pemuda untuk memberikan pencerahan kepada sesama pemuda. Bagaimana kita bisa saling bekerjasama dengan banyak sekolah-sekolah di daerah," ucap Zulfikar.

Menurutnya dalam Alquran juga terdapat term-term yang menunjukan adanya keragaman hayati baik flora maupun fauna.

Tuhan seperti diterangkan dalam Alquran memang menghendaki adanya keragaman.

Seandainya Allah menghendaki, menurutnya bisa saja menyeragamkan semuanya.

Allah menegaskan bahwa perbedaan adalah rahmat.

Baca juga: Menteri Agama: Insan Pers Perkuat Moderasi Beragama di Indonesia

Di dalam Alquran juga terdapat berbagai perintah agar kita tidak merusak hubungan sosial dengan alasan berbagai perbedaan.
Misalnya ada ayat yang melarang kita untuk memaki simbol-simbol sakral agama lain.

Karena itu, setiap manusia harus menciptakan ekosistem untuk menguatkan moderasi beragama yang dimulai dari cakupan peran keluarga, peran masyarakat, peran lembaga pendidikan, peran lembaga keagamaan, peran media, dan peran negara.

Hidup di Indonesia juga berdasarkan asas Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika yang tujuannya tidak jauh beda dengan tujuan Islam.

Baca juga: Pemerintah Kebut Penyusunan Buku Saku Moderasi Beragama

Persoalannya adalah, banyak penceramah-penceramah agama yang justru konfrontatif baik yang dilakukan secara langsung maupun tersebar lewat media sosial terhadap berbagai perbedaan dan fenomena kebudayaan.

Ini harus dihindari dan digantikan dengan alat dakwah yang lebih baik, seperti para wali yang didukung lebih intens lagi ormas-ormas agama dan lembaga-lembaga pendidikan agama.

Baca juga: Gus Mis: Indonesia Bisa Jadi Poros Dunia Moderasi Islam

Artinya harus melakukan penguatan kembali elemen-elemen yang sudah disahkan hingga yang dibentuk pemerintah seperti Forum Kerukunan Umat Beragama, pembentukan tim pokja, penyuluhan toleransi beragama, dan Lembaga Anti-Terorisme lainnya.

Begitu juga Kemendikbud yang sudah menyusun kurikulum anti-kekerasan, agar narasi-narasi yang moderat semakin terus tersebar dan efektif mencegah masyarakat terjebur dalam paham-paham radikal.

Ada tiga hal. Pertama, karena ada praktik agama yang ekstrim dan berlebihan.

Kedua adanya klaim sebab kebenaran subjektif sepihak.

Makin banyak klaim mengakfirkan, bahkan memurtadkan.

Ketiga, ada orang beragama kemudian keluar dari konsesus kebangsaan.

Terakhir, hal yang penting untuk disadari adalah bahwa program moderasi beragama itu bukan hanya untuk umat islam.

Akan tetapi, juga kepada umat lain seperti ke gereja-gereja seperti di Papua sehingga tidak muncul lagi isu-isu yang ingin melepaskan diri dari NKRI.

Menanggapi hal itu, Ketua BPET MUI Pusat Muh Syauqillah, menjelaskan banyak kasus radikalisme ternyata berasal dari kalangan muda.

Baca juga: Kemenag Ajak Pemuda Katolik jadi Garda Terdepan Moderasi Beragama

Berdasarkan Global Terorisme Indeks 2020, ini berkaitan dengan metode rekruitmen.

Salah satunya adalah melalui online propaganda yang meliputi rekruitmen, propaganda, pendanan, pelatihan, konsolidasi, perencanaan dan pembaiatan, famili dan pertemanan.

"Terkait paradigma moderasi beragama, ada teori Levelling Teror Actor yang meliputi mereka yang, pendana pasif, pelaku teror, pendukung aktif, aktif di jaringan teror, aktif di pemikiran dan operasional, tokoh promeinen/ideolog. Saya katakan, dengan ini bahwa program moderasi beargama harus meliputi setiap levelnya. Jika tidak, maka akan sia-sia. Jadi dari hulu ke hilir," kata Syauqillah.

Syauqillah juga menuturkan, ada 10 prinsip Islam Washatiah yang perlu dipahamii oleh generasi muda khususnya.

dia antaranya tawassuth (tengah), tawazun (seimbang), iā€™tidal (lurus/tegak), tasamuh (toleransi), musawah (egaliter), Syuro, ishlah (reformasi), adawiyah, tathawwr wa ibtikar (dinamis dan inovatif), dan tahadhdhur (berkeadaban).

"Jika seandainya prinsip-prinsip ini bisa dihayati dengan baik dan dipraktikkan urgensinya, maka kita tak perlu khawatir generasi berikutnya yang akan memegang peranan penting apakah akan terjerumus pada teror atau tidak. Karena dengan itu semua maka tidak akan," kata pakar radikalisme ini.

Sementara itu, Pendiri NII Crisis Center yang juga adalah eks dari NII Ken Setiawan mengumukakan pandangannya terkait dengan radikalisme di kelompok muda.

"Saya di sini berbicara sebagai mantan pelaku. Sebenarnya melihat fakta di lapangan, cukup prihatin. Mengapa ? Sebab banyak orang di luar terpapar radikalisme tetapi tidak menyadari," katanya.

Menurutnya, ada yang mengaku sangat pancasilais, tetapi ketika ditanya apakah agama kita dengan agama yang lain tuhannya satu atau beda? ternyata jawabannya ya beda.

Itu bukan hanya di masyarakat umum, tetapi juga di kementrian agama.

Ini juga bahkan terjadi di Forum Kerukunan Umat Beragama.

"Jadi mereka bertoleransi itu hanya di fisik, tetapi di pikirannya tetap berperang. Jadi mereka masih menganggap benar sendiri dan yang lain salah," kata Ken.

"Kita ini jujur saja, kita kurang duduk bersama sehingga salah persepsi. Misal, banyak orang mengatakan Tuhan Hindu itu ada banyak ada 3, tetapi ketika kita duduk kepada penganut aslinya, maka di sana ternyata hanya ada satu Tuhan. Ini salah," tutur Ken Setiawan.

Kemudian, terangnya, ada pandangan masyarakat yang sepertinya keliru.

Bahwa yang disebut radikal adalah jenggot, padahal bukan.
Radikal itu keinginan mengubah sesuatu untuk meruntuhkan sistem negara dan menggantikannya dengan sistem lain secara keseluruhan dengan cara kekerasan.

Ada juga yang terjadi, masyarakat kurang memahami kenapa orang-orang radikal juga tidak ditangkapi.

Padahal, harus mengerti bahwa proses itu semua regulasinya belum lengkap.

Mungkin bentuk-bentuk ormasnya sudah bisa ditangani, tetapi lebih jauh belum.

"Bayangkan, ada riset mengatakan bahwa pelajar 23,3% pelajar kita sudah setuju dengan pengubahan negara islam. Ada mahasiwa dengan angka yang tak jauh, kemudian disusul oleh pegawai hingga aparat. Itu parah. Bahkan bukan lagi terpapar, tapi tertangkat," jelasnya.

Soal penyebaran hoaks, ujaran kebencian terhadap pemerintah dan kelompok lain, itu juga penting.

Karena semua informasi hoaks dan adu domba tersebar di sini.

"Yang waras harus bergerak. Mereka itu padahal sedikit. Kita majority silent dan diam. Mereka itu sedikit, tetapi bekerja 24 jam. Makanya, sekali lagi kita semua harus lebih giat agar generasi kita bisa kembali lagi ke ahlusunnah wal jamaah," ujar Ken.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini