Bahkan kata Edwin, tidak sedikit para anak kereng (sebutan korban yang tinggal di kerangkeng) mengalami cacat fisik karena tindakan kekerasan itu.
Beberapa di antaranya, mengalami kuku jari terbelah karena dipukul hingga jari tangannya terputus.
"Banyak korban yang menderita cacat, seperti jari putus, luka bakar di tubuh, gigi tanggal, tulang rusuk hancur, kuku lepas, stres hingga mengalami gangguan jiwa hingga ada meregang nyawa," ucap Edwin.
Adapun lokasi penganiayaan yang dilakukan Dinasty TRP itu kata Edwin, terjadi di berbagai tempat dan lokasi.
"Lokasi penganiayaan di kerangkeng maupun di luar kerangkeng, seperti gudang cacing, perkebunan sawit, pabrik sawit, dan kolam," dia.
Terbit Raup Laba Hingga Ratusan Miliar
Selain itu, LPSK juga mengungkap adanya praktik perbudakan yang dilakukan Terbit Rencana kepada para anak kereng.
Edwin mengatakan dari hasil perbudakan itu Terbit Rencana Peranginangin disinyalir telah mendapatkan keuntung hingga lebih dari Rp177 miliar.
"Mengacu pernyataan Kapolda Sumut bila setidaknya ada 600 korban dalam 10 tahun terakhir yang dipekerjakan oleh TRP di bisnisnya tanpa digaji, maka TRP diuntungkan dengan tidak membayar penghasilan mereka sebesar Rp 177.552.000.000," kata Edwin.
Lebih lanjut, Edwin mengungkapkan, pihaknya menduga keras adanya praktik perbudakan dengan iming-iming rehabilitasi bagi pecandu narkotika dalam kasus kerangkeng manusia di Langkat ini.
Sebab kata Edwin, berdasarkan informasi yang didapati pihaknya saat melakukan investigasi itu, dominan yang dimasukkan ke dalam kerangkeng tersebut merupakan pecandu narkoba.
Baca juga: Komnas HAM Sebut Tak Ada Usulan LPSK Soal Menkopolhukam Bentuk Tim Usut Kasus Kerangkeng di Langkat
"Telah terjadi praktik perbudakan dengan iming-iming rehabilitasi bagi pecandu narkotika," kata Edwin.
Bahkan ada konsekuensi yang akan dialami korban setelah masuk kerangkeng ini.
Di mana mereka yang sudah masuk, kata Edwin akan sangat sulit untuk pulang kembali ke rumah.
Terlebih, kata Edwin, Terbit Rencana Peranginangin membentuk tim pemburu yang bertugas untuk mencari dan menjemput paksa para korban yang kabur.
"Tim pemburu terdiri dari anak buah TRP dan anak buah Dewa (anak TRP) serta oknum aparat. Dalam praktiknya, tim pemburu juga mengancam keluarga dari korban yang kabur untuk menggantikan posisi dalam kerangkeng," ucap Edwin.