Laporan Wartawan Tribunnews Taufik Ismail
TRIBUNNEWS. COM, JAKARTA - Perang antara Rusia dan Ukraina dikhawatirkan akan berdampak pada Indonesia.
Menurut Deputi III Kepala Staf Kepresidenan Panutan S. Sulendrakusuma konflik antar kedua negara tidak berdampak langsung pada perekonomian Indonesia. Hal ini sejalan dengan minimnya hubungan dagang Indonesia dengan dua negara yang sedang berkonflik tersebut.
"Relasi perdagangan dan investasi antara Indonesia dengan Rusia dan Ukraina, cukup rendah," katanya di Jakarta, Rabu (23/3/2022).
Dia memaparkan, neraca dagang dengan Rusia relatif kecil sebesar US$239,79 juta dan Investasi langsung senilai US$23,21 juta.
Sementara dengan Ukraina, nilainya minus US$623,89 juta dan total investasi langsung hanya US$1,6 juta
Meski begitu, Panutan menilai, Indonesia tetap melakukan langkah-langkah antisipasi jika konflik Rusia dan Ukraina berkelanjutan.
Baca juga: WBI Gaungkan Kelestarian Budaya Indonesia
“Karena dampak yang besar akan terlihat dari biaya yang dikeluarkan dari pemenuhan impor BBM yang 40 persen kebutuhan masih mengandalkan impor,” tutur Panutan
Panutan menjelaskan, kenaikan harga energi akan berpengaruh pada biaya logistik dan kenaikan harga beberapa komoditas impor seperti gandum, kedelai, jagung dan sapi.
Hal itu tentu saja berpengaruh pada industri makanan, restoran dan pelaku katering.
“Ini berpotensi menyebabkan kenaikan laju inflasi,” kata Panutan.
Ia berpendapat, konflik Rusia dan Ukraina bisa memberikan dampak besar berupa kenaikan harga secara global pada tiga sektor utama, di antaranya, energi, pertanian dan manufaktur.
Seperti diketahui, Rusia merupakan produsen minyak terbesar ketiga di dunia dan memenuhi 11 persen dari kebutuhan minyak global. Namun dari segi konsumsi mereka hanya 4 persen.
Selain itu, Rusia juga produsen gas terbesar dan produsen batu bara ke enam terbesar di dunia.
“Perang akan menyebabkan melambungnya harga minyak dunia, gas dan batu bara. Harga minyak untuk jenis Brent sudah mencapai US$101,68 per barel,” kata Panutan.
Dari sisi pertanian, lanjut Panutan, Rusia bersama dengan Ukraina merupakan pemasok 29 persen kebutuhan gandum global, 17 persen pasokan jagung dan 76 persen minyak goreng dari jenis bunga matahari.
Adapun dari sisi industri manufaktur, Rusia memasok 35 persen kebutuhan paladium, 10 persen platinum, 6 persen aluminium, 5 persen nikel dan biji baja 4 persen.
“Kenaikan harga metal tersebut akan menyebabkan kenaikan biaya bahan baku terutama untuk industri manufaktur otomotif dan elektronik,” tutur Panutan.
Selain itu akan terjadi kenaikan harga emas disebabkan emas menjadi alat tukar paling aman selama terjadi perang dan merupakan medium penyimpanan aset konvensional