TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak dapat menerima alias menolak gugatan permohonan yang dilayangkan Partai Ummat terkait pengujian Pasal 222 UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold 20 persen.
Dalam permohonan ini Partai Ummat diwakili oleh Ketua Umum DPP Partai Ridho Rahmadi dan Sekretaris Jenderal Partai A. Muhajir.
Hakim Ketua MK Anwar Usman mengatakan, keputusan tersebut sebagaimana telah tertuang dalam ketetapan MK nomor 74/PUU-VIII/2020.
"Mengadili menyatakan permohonan pemohon (Partai Ummat) tidak dapat diterima," kata Hakim Ketua Anwar Usman dalam putusannya yang juga disiarkan langsung melalui YouTube MK RI, Selasa (29/3/2022).
Dalam pertimbangannya, Hakim Anggota MK Aswanto menjelaskan, berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) di mana partai politik yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma pasal tersebut, merupakan parpol yang pernah menjadi peserta pemilu sebelumnya.
Namun, dalam permohonan a quo yang dilayangkan Partai Ummat sebagai pemohon dinyatakan bahwa pemohon merupakan partai yang baru terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) RI dan belum pernah menjadi peserta pemilu.
"Oleh karena itu, menurut mahkamah, partai a quo belum dapat dinyatakan sebagai partai politik peserta pemilihan umum sebelumnya, sehingga dengan demikian tidak terdapat kerugian konstitusional pemohon dalam permohonan a quo," ucap Aswanto.
Atas hal itu, berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut, menurut Aswanto, pemohon dalam hal ini Partai Unmat tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
Oleh karenanya kata Aswanto, Mahkamah Konstitusi tidak dapat mempertimbangkan pokok permohonan dengan dasar karena Partai Ummat tidak memiliki kedudukan hukum.
Baca juga: Partai Ummat Gugat Presidential Threshold 20% Ke Mahkamah Konstitusi, Sebut ada 5 Kerugian
"Menimbang bahwa meskipun mahkamah berenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, mahkamah tidak dapat mempertimbangkan pokok permohonan" ucap Aswanto.
Sebelumnya, Partai Ummat mengajukan permohonan pengujian pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU pemilu) terkait ambang batas pencalonan Presiden atau Presidential Threshold 20% ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam permohonan tersebut, Partai Ummat diwakili oleh Ketua Umum Ridho Rahmadi dan Sekretaris Jenderal A Muhajir.
Kuasa hukum Partai Ummat, Refly Harun, menjelaskan kliennya sebagai partai politik baru merasa dirugikan hak konstitusionalnya terhadap ketentuan ambang batas tersebut.
Paling tidak, kata Refly, ada lima kerugian yang dicantumkan dalam permohonan.
Pertama, kata dia, tidak dapat memilih kandidat yang lebih banyak dan lebih selektif karena ketentyan 20% tersebut hanya memungkinkan empat kandidat saja secara teoritis.
Kedua, tidak dapat mengusulkan calon presiden dan atau calon wakil presiden pada pemilihan mendatang.
"Karena notabene Partai Ummat adalah partai baru yang belum ikut kontestasi Pilpres 2019 sehingga tidak punya baik kursi maupun suara," kata Refly dalam sidang secara daring yang disiarkan di kanal Youtube Mahkamah Konstitusi RI pada Rabu (9/2/2022).
Ketiga, lanjut dia, terkait pinsip keadilan yakni Partai Ummat tidak mendapatkan keadilan dan persamaan dalam pemilihan.
"Karena kita tahu bahwa prinsip pemilihan umum adalah jujur dan adil. Jadi kesempatan yang adil itu yang tidak kami dapatkan sebagai pemohon," kata dia.
Keempat, kata dia, Partai Ummat terhambat untuk merealisasikan manifesto politik sebagai sebuah partai.
Ia melanjutkan, bahwa salah satu peran partai adalah rekrutmen politik termasuk rekrutmen kepemimpinan nasional.
Peran tersebut, kata dia, terhambat dengan ketentuan PT 20% karena dengan batas tersebut Partai Ummat tidak memiliki kesempatan untuk mencalonkan baik calon Presiden maupun Wakil Presiden.
"Sehingga kerja-kerja partai politik dalam melakukan rekrutmen kepemimpinan nasional itu tidak bisa dilakukan. Karena kalaupun dilakukan toh akhirnta tidak bisa disalurkan melalui Partai Ummat," kata dia.
Kelima, lanjut Refly, secara sosiologis pasal 222 menimbulkan polarisasi dalam masyarakat bahkan bipolarisasi.
Padahal, kata dia, partai politik tugasnya bukan untuk disintegrasi atau memunculkan perpecahan melainkan justru untuk persatuan demi mewujudkan tujuan nasional.
"Lima kerugian ini kami konstruksikan baik dia bersifat faktual maupun potensial atau menurut penalaran yang wajar akan terjadi pada Pilpres 2024," kata Refly.
Selain itu, kuasa hukum pemohon juga menyampaikan 10 poin pokok permohonan.
Kuasa hukum pemohon, Muhammad Raziv Barokah, membacakan satu di antara poin pokok permohonan tersebut adalah pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilu bukan open pegal policy dan bertentangan dengan pasal 6 ayat 2 serta pasal 6a ayat 5 UUD 1945.
Mengutip pertimbangan hukum putusan nomor 51, 52, 59 2008 dan putusan MK nomor 53 tahun 2017, Mahkamah menyatakan bahwa pemberlakuan PT 20% tersebut merupakan delegasi dari pasal 6a ayat 5.
Sementara dalam pandangan pihaknya, pasal 6a ayat 5 adalah delegasi yang mengamanahkan diaturnya hal-hal yang terkait dengan teknis sedangkan threshold 20% bukanlah berbicara mengenai teknis namun hal yang sangat signifikan dan justru menghambat pelaksanaan demokrasi yang fair dan kompetitif.
Sementara mengenai pengusungan, kata Raziv, seharusnya sudah diatur limitatif dalam pasal 6 ayat 2 sehingga keberadaan pasal 222 UU Pemilu ini bukan merupakan open legal policy melainkan closed legal policy.
"Sehingga seharusnya pasal 222 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi," kata dia.
Raziv juga membacakan petitum permohonan berdasarkan 10 poin argumentasi yang telah disampaikannya dalam pokok permohonan.
Pertama, mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya.
Kedua, menyatakan pasal 222 Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Ketiga, memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita negara republik Indonesia, atau apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan seadil-adilnya, ex aequo et bono," kata Raziv.