TRIBUNNEWS.COM - Reog Ponorogo adalah kesenian daerah yang berasal dari Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur.
Pemerintah Kabupaten Ponorogo sedang memperjuangkan kesenian ini agar masuk dalam daftar Warisan Budaya Takbenda atau Intangible Cultural Heritage (ICH) UNESCO tahun ini.
Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko optimis Reog bisa diakui UNESCO, sesuai yang ia sampaikan setelah konferensi pers yang digelar di Pendopo Agung Pemerintahan Kabupaten Ponorogo, Selasa (15/10/2022), dikutip dari laman Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Ponorogo.
Ia juga menyampaikan permintaan dukungan lainnya melalui media massa maupun postingan di akun media sosial masyarakat Indonesia.
Untuk lebih mengenal Reog Ponorogo, berikut ini sejarahnya.
Baca juga: Diklaim Malaysia, Ketua DPD RI Tegaskan Reog Ponorogo Kesenian Khas Indonesia
Sejarah Reog Ponorogo
Reog Ponorogo berasal dari cerita rakyat yang memiliki berbagai macam versi.
Berikut ini ceritanya, dikutip dari laman Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Ponorogo.
1. Cerita versi Raja Kertabumi
Reog Ponorogo sendiri sebenarnya memiliki arti politik yaitu sindiran untuk Raja Kertabumi dan kerajaanya.
Reog dalam sejarah Kerajaan Majapahit pernah digunakan sebagai cara Ki Ageng Kutu untuk membangun perlawanan masyarakat terhadap Raja Kertabumi.
Raja Kertabumi dilambangkan sebagai singa barong dan bulu merak di kepala barong melambangkan para rekan cinanya dalam mengatur gerak-gerik Kerajaan Majapahit.
Jatilan yang diperankan oleh penari Gemblak menunggang kuda melambangkan kekuatan pasukan Majapahit.
Sedangkan Warok yang berhidung merah melambangkan sebagai Ki Ageng Kutu yang memiliki arti seorang yang mempunyai tekad suci untuk melindungi tanpa pamrih.
Sindiran tersebut tidak diterima dengan baik oleh oleh Raja Kertabumi, ia lalu menyerang perguruan Ki Ageng Kutu karena mengundang pemberontakan.
Baca juga: Malaysia Kembali Klaim Seni Reog, Indonesia Daftarkan ke UNESCO Sebagai Warisan Budaya
2. Cerita versi Raja Ponorogo dan Dewi Ragil Kuning
Dalam versi cerita lain, Reog Ponorogo menceritakan tentang Raja Ponorogo yang berminat melamar putri dari Kediri yakni Dewi Ragil Kuning.
Di tengah jalan, mereka dihadang oleh Raja Singa Barong dari Kediri.
Pasukan raja tersebut terdiri dari merak dan singa, sedangkan Raja Ponorogo Kenolo dan Wakilnya Bujang Anom diwakili oleh Warom (pria berpakaian hitam-hitam).
Warok diceritakan memiliki ilmu hitam mematikan yang membuat mereka semua kerasukan saat mementaskan tarian ini.
Hal tersebut yang dipercaya membuat para penari bergerak dengan lincah dan pembawaan barong dapat kuat mengangkat topeng berat tersebut.
Baca juga: KSP Kawal Pengajuan Seni Reog Ponorogo ke UNESCO
Perkembangan Reog Ponorogo
Reog Ponorogo pada awalnya dipraktikkan dan berkembang di Desa Somoroto Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur, kemudian menyebar ke seluruh kecamatan dan desa di wilayah Kabupaten Ponorogo.
Selain itu, reog juga berkembang dan tersebar di sebagian besar provinsi di Indonesia seperti: Jawa Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Lampung, Riau, Kalimantan Timur, Bengkulu, Jambi, Papua, Papua Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat, Banten, Bali, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Barat.
Reog Ponorogo juga diketahui berkembang di beberapa negara seperti Amerika, Belanda, Korea, Jepang, Hongkong, dan Malaysia.
1. Reog pada Masa Hindu-Budha
Sejarah keberadaan seni reog pada masa kuno (zaman Hindhu-Budha) juga dapat diketahui melalui cerita versi legenda Suryongalam.
Pada versi ini diceritakan Demang Suryongalam dari Wengker yang bernama Ki Ageng Kutu (sekarang Desa Kutu, Kecamatan Jetis) membuat seni reog sebagai bentuk kritik kepada pemerintahan Raja Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit (abad XV).
Raja Brawijaya V dianggap tidak mampu melaksanakan tugas kenegaraan dengan baik disebabkan oleh dominasi permaisurinya.
Legenda ini juga menjadi pilihan alur cerita pada seni pertunjukan reog di Ponorogo.
Pada pertunjukan reog versi legenda Suryongalam terdapat 3 peran yang dimainkan, yakni ganongan, jatilan, dan dadak merak.
Kedua legenda tersebut menjadi petunjuk seni reog di Ponorogo sudah ada sejak zaman Hindu-Budha.
Selanjutnya seni reog ini terus dikembangkan hingga periode awal masa islamisasi di tanah Jawa oleh Raja Katong (Bathoro Katong) pada akhir abad XV.
Pada versi ini terdapat 4 peran yang dimodifikasi dari versi Bantarangin, yakni tari kelana, ganongan, jatilan dan dadak merak.
Sebelum Bathoro Katong berkuasa, masyarakat Ponorogo mengenal seni reog sebagai barongan yang menjadi permainan para warok.
2. Reog pada Masa Pasca Kemerdekaan
Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, seni pertunjukan reog sempat dibatasi karena untuk menghindari pengumpulan massa yang beresiko munculnya nasionalisme atau pemberontakan.
Setelah Indonesia merdeka, seni reog mulai dipertunjukan secara bebas.
Bahkan, pada masa orde lama (1960) seni reog sering digunakan oleh partai politik sebagai sarana mengumpulkan massa.
Menjelang tahun 1965, muncul beberapa organisasi kesenian, seperti BREN (Barisan Reog Nasional) didirikan oleh Partai Nasional Indonesia dan CAKRA (Cabang Reog Agama) yang didirikan oleh NU.
Pada tahun 1997, pemerintah mengadakan FRN (Festival Reog Nasional) dengan tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengembangkan kesenian reog agar lebih menasional.
Pelaksanaan FRN dilaksanakan bersama dengan Grebeg Suro/ tahun baru Islam.
Reog selama ini sudah menjadi daya tarik bagi kota Ponorogo, tidak hanya di bidang pariwisata karena daya tariknya mampu mengundang wisatawan dari seluruh penjuru tetapi nilai budaya yang terkandung di dalamnya.
Keindahan dalam gerak Tari Ponorogo ini bahkan sudah diakui dunia.
Ponorogo sendiri selain mempopulerkan Reog dengan mengadakan perlombaan di dalam kota sendiri, mereka juga mengikutkan Reog ke dalam acara-acara di luar kota, seperti yang tertulis dalam laman Universitas Ciputra.
Reog ini biasanya dipakai untuk acara-acara budaya seperti Grebeg Suro, nikahan, atau bahkan acara khitanan.
Dalam lingkup seni tradisi, Reog Ponorogo yang sebelumnya merupakan seni tradisi komunal telah berkembang menjadi seni kontemporer yang tidak hanya menjadi milik Ponorogo tetapi milik bangsa Indonesia.
Kesenian ini diperlakukan adanya standar dan penyebaran supaya tidak terlupakan dan diklaim oleh negara lain.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Artikel lain terkait Reog Ponorogo