News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kasus Gagal Bayar Srilanka, Indonesia Wajib Hati-hati Kelola Rasio Utang Luar Negeri

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Para pengunjuk rasa membakar bus selama demonstrasi di luar rumah presiden Sri Lanka untuk menyerukan pengunduran dirinya di Kolombo pada 31 Maret 2022. - Pasukan keamanan dikerahkan di seluruh ibu kota Sri Lanka pada 1 April setelah pengunjuk rasa mencoba menyerbu rumah presiden di kemarahan pada krisis ekonomi terburuk bangsa sejak kemerdekaan. (Photo by Ishara S. KODIKARA / AFP)

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Fraksi Demokrat DPR RI, Marwan Cik Asan, mengatakan, kasus gagal bayar utang luar negeri (default) pemerintah Sri Lanka harus menjadi peringatan dan pelajaran bagi pemerintah Indonesia dalam melakukan pengeloaan utang.

Krisis ekonomi dan konflik politik menjadi pemicu utama terjadinya gagal bayar utang pemerintah Sri Lanka, aktivitas ekonomi Sri Langka selama ini sudah sangat tergantung dengan utang, sebagaian besar digunakan untuk melakukan impor kebutuhan bahan pokok dan BBM yang terus meningkat.

"Apa yang dialami Sri Lanka harus menjadi cermin bagi pemerintah Indonesia dalam pengelolaan utangnya. Dalam 2 tahun terakhir jumlah utang pemerintah telah bertambah lebih dari Rp. 2000 triliun dengan total utang saat ini mencapai Rp. 7000 triliun. Rasio utang juga terus meningkat dalam 7 tahun terakhir dari 24,7 persen tahun 2014 meningkat menjadi 40 persen pada awal tahun 2022," kata Marwan, Selasa (19/4/2022).

Politikus asal Lampung itu menjelaskan, peningkatan rasio utang menggambarkan bahwa penggunaan utang semakin tidak produktif, penambahan utang tidak lagi menjadi pengungkit untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang hanya berkisar 5 persen atau lebih rendah dari target RPJM yang rata-rata ditargetkan 7 persen per tahun.

Baca juga: Sri Lanka Dilanda Krisis Ekonomi, Presiden Gotabaya Mengaku Bersalah, Janji Tanggung Jawab

Kondisi makro ekonomi Indonesia sangat jauh berbeda dari Sri Lanka, neberapa indikator makro ekonomi Indonesia masih dalam kondisi stabil dan aman.

Rasio utang masih dalam wajar di bawah 60 persen, defisit APBN menuju tahap konsolidasi dengan maksimum defisit 3 persen pada 2023, tingkat inflasi relatif rendah masih dalam target BI sebesar 2 – 4 persen.

Namun di sisi lain ada beberapa indikator yang mengkhawatirkan dan patut diwaspadai oleh pemerintah.

"Pemerintah harus memperhatikan rasio pajak yang terus menurun dalam sepuluh tahun tarakhir dari 13, 6 persen tahun 2013 turun hingga mencapai 7,9 persen ditahun 2020. Kondisi ini menggambarkan terjadinya penurunan basis pajak dan penerimaan pemerintah dari sektor pajak. Padahal penerimaan pajak menjadi tumpuan utama penerimaan negara, dengan turunnya rasio pajak ketergantungan pemeritah terhadap utang akan semakin besar," ucapnya.

Baca juga: Jadi Negara Bangkrut, Presiden Sri Lanka Akui Salah Kelola Perekonomian Negaranya

Anggota Banggar DPR RI itu menegaskan, hal lain yang mengkhawatirkan adalah rasio beban bunga yang semakin meningkat, rasio beban bunga terhadap PDB tahun 2020 mencapai 2 persen atau setara dengan 19,2 persen dari total pendapatan pemerintah pada tahun 2020.

Marwan menilai rasio penerimaan pemerintah tahun 2020 sebesar 10,6 persen dikurangi rasio beban bunga 2 persen, maka sisa rasio pendapatan hanya mencapai 8,6 persen untuk belanja pemerintah.

Namun faktanya rasio belanja pemerintah dalam beberapa tahun terakhir telah mencapai 15 persen pada 2015-2019. dan 16,9 persen pada 2020 karena pandemi dan resesi belanja fiskal.

Artinya untuk menutupi turunnya penerimaan pemerintah dalam pembiayaan belanja dipastikan pemerintah akan terus menambah jumlah utang dalam jumlah besar.

"Maka dapat diperkirakan sampai dengan akhir pemerintahan Presiden Jokowi jumlah utang akan mencapai Rp. 10.000 triliun dengan rasio utang mencapai 50 persen dari PDB. Pembayaran cicilan dan bunga utang akan menyandera APBN. Penambahan jumlah utang pemerintah akan berdampak semakin besarnya alokasi APBN untuk membayar bunga utang," ujarnya.

Terakhir, Marwan menambahkan bahwa dengan berbagai indikator yang disampaikan tersebut, pengelolaan utang pemerintah mungkin tidak akan seperti Sri Lanka yang mengalami kegagalan dalam pembayaran utang.

Namun pemerintah perlu lebih waspada dan disiplin dalam penggunaan utang.

Pemerintah harus dapat memastikan bahwa utang digunakan untuk kegiatan produktif sehingga mampu mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi, mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran.

"Hal tersebut dapat tercapai jika pemerintah fokus pada peningkatan penerimaan perpajakan karena ini adalah sumber utama masalah fiskalnya, Dengan meningkatnya penerimaan pajak akan berdampak pada menurunnya defisit dan pembiayaan serta utang pemerintah akan ikut menurun," tandasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini