TRIBUNNEWS.COM - Belakangan ini sempat ramai di publik mengenai polemik penetapan tersangka pada korban begal.
Kasus tersebut dialami Pria asal Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) berinisial M (34).
Ia ditetapkan sebagai tersangka karena menewaskan dua pelaku begal saat membela diri.
Akan tetapi, kasus tersebut saat ini sudah dihentikan oleh Polda NTB, karena tidak ditemukannya unsur perbuatan melawan hukum.
Baca juga: Kasus Korban Begal Jadi Tersangka Dihentikan Polisi, Amaq Sinta Apresiasi Kinerja Polri
Baca juga: Kata Pakar Hukum soal Kasus Amaq Sinta, Korban Begal yang Jadi Tersangka Pembunuhan
Menilik kasus tersebut, bagaimanakah penerapan hukum yang tepat dalam menetapkan tersangka pada korban begal?
Ketua DPC Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Solo Zainal Abidin, memberi penjelasan terkait hal ini.
Menurutnya, kepolisian dalam kasus ini seharusnya lebih mengedepankan social justice (keadilan masyarakat).
Sehingga, dengan social justice, kepolisian dapat melihat apakah pelaku berhak diproses secara hukum atau tidak.
"Hukum itu bisa diterapkan dengan tiga hal, pertama tentang moral justice, social justice dan formal justice,"
"Sehingga dalam kasus begal ini tentunya dari pihak aparat atau kepolisian bisa mulai mengedepankan social justice,"
"Dari social justice itu kita bisa melihat apakah pelaku ini berhak di proses secara hukum atau tidak, ini kan bisa dilihat dari profil seseorang, identifikasi orang kan gampang bisa melalui media sosial, kemudian dinilai apakah layak untuk diadili atau diproses atau tidak," kata Zainal dalam program Kacamata Hukum Tribunnews, Senin (18/4/2022).
Lebih lanjut, ia mengatakan, dengan diterapkannya social justice dinilai efektif dan lebih diterima masyarakat.
Mengingat kasus ini pada akhirnya juga diberhentikan oleh Polda NTB.
Sehingga menurutnya kepolisian tetap harus mengedepankan social dan moral justice terlebih dahulu sebelum melakukan proses hukum.
Baca juga: Bagaimana Hukumnya Membawa Senjata Tajam untuk Perlindungan Diri? Ini Kata Ahli Hukum