Mengutip dari grid.id, diketahui bahwa di masa penjajahan Belanda, tidak semua anak bisa mendapatkan pendidikan yang layak.
Budaya patriarki masih melekat di tanah Jawa, maka dari itu para kaum wanita memiliki kewajiban untuk mengurus rumah dan tidak diperbolehkan memiliki pendidikan yang lebih tinggi dari kaum pria.
Karena hal itulah, setelah usia 12 tahun, RA Kartini harus berhenti bersekolah karena harus mengikuti budaya yang berjalan.
Karena tetap semangat mencari ilmu, Kartini tetap berjuang untuk mendapatkan pengetahuan dari rumahnya.
Maka selama ia di rumah dan tidak bersekolah, ia tetap rajin mencari ilmu, dengan bertukar pikiran dengan teman-temannya melalui surat.
RA Kartini juga gemar membaca buku-buku kebudayaan Eropa seperti buku karya Louis Coperus yang berjudul Des Stille Kraacht.
Kegemarannya dalam membaca buku, membuat wawasan Kartini menjadi lebih terbuka.
Kemudian muncul pemikiran ingin memperjuangkan haknya sebagai perempuan.
Kartini mulai memberi perhatian lebih pada adanya gerakan emansipasi wanita.
Menikah dengan KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat
RA Kartini pada tahun 1903 pun menikah dengan Bupati Rembang, KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat.
Lalu, ia memutuskan untuk mendirikan sekolah wanita.
Tujuan Kartini mendirikan sekolah tersebut adalah untuk memberikan kebebasan pendidikan bagi wanita pribumi.
Namun, pada 17 September 1904, RA Kartini menghembuskan napas terakhirnya setelah melahirkan anak pertamanya, Soesalit Djojoadhiningrat.