TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) chapter Universitas Muhamadiyah Yogyakarta menggelar diskusi yang bertajuk “Beasiswa bagi Papua: Membangun Negeri dari Timur Indonesia” pada Jumat (29/4/2022).
Diskusi ini digelar di tengah polemik terkait pemulangan para pelajar asal Papua penerima beasiswa Otonomi Khusus dari berbagai negara di luar negeri.
Dalam webinar ini, narasumber dari KBRI Wellington sampaikan guliran pemulangan para pelajar di Selandia Baru, berawal dari surat BPSDM tertanggal 17 Desember 2021 kepada 42 pelajar penerima beasiswa asal Papua tentang penghentian beasiswa per 31 Desember 2021.
Pemulangan ini merupakan hasil evaluasi yang diselenggarakan BPSDM dengan berpegang pada hasil evaluasi akademis, durasi menjalankan pendidikan dan disiplin para siswa.
Baca juga: Bertemu Pemuda Adat Papua, Mahfud MD Sebut Pemerintah akan Percepat Pemekaran Daerah Otonomi Baru
Baca juga: TNI AL Lakukan Evaluasi Atas Gugurnya 3 Prajurit Korps Marinir di Papua
Dalam perkembangannya, terdapat reaksi dari para pelajar dan guliran di media yang sampaikan narasi yang kerap keliru dan misleading.
Selain itu, KBRI telah menemui berbagai pihak di dalam negeri maupun Selandia Baru termasuk Kementerian/Lembaga terkait, Kemlu serta Imigrasi Selandia Baru, Koordinator Pelajar, para pelajar, parlemen dan lainnya.
Disampaikan pula permasalahan dan berbagai tantangan yang dihadapi termasuk proses seleksi, penentuan jurusan yang mismatch, mekanisme penyaluran dana, evaluasi dan pengawasan dan koordinasi yang kurang dengan pihak terkait.
Dalam diskusi ini, Direktur LPDP memaparkan pelaksanaan beasiswa LPDP yang selama ini telah sukses menyalurkan beasiswa ke pelajar terbaik di Indonesia, termasuk yang berasal dari Provinsi Papua dan Papua Barat.
Disampaikan pula bahwa terdapat peningkatan pendaftar beasiswa LPDP sebanyak 300% di Papua dan Papua Barat di tahun 2022 maupun berbagai program afirmasi.
Sementara wakil Kantor Staf Presiden sampaikan berbagai koordinasi yang dilakukan pihak terkait di Pusat untuk membahas dan mencoba mencari solusi masalah ini.
Disoroti pula narasi keliru yang kerap menghubungkan masalah beasiswa dengan implementasi kebijakan otonomi khusus yang baru.
Selain itu disampaikan pula bahwa ke depannya perlu dilakukan pembenahan pendataan siswa serta penanganan masalah internal yang selama ini meliputi penyelenggaraan beasiswa tersebut, selain berbagai upaya perbaikan lainnya.
“Perlu sistem pengawasan internal beasiswa yang ketat, pembenahan pendataan siswa serta penanganan masalah internal yang selama ini meliputi penyelenggaraan beasiswa Otsus Papua,” tegas Theo Litaay, Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden, dalam Webinar Special Peace Dialogue (SEPEDA) kedua.
“Selain itu, koordinasi dan komunikasi yang efektif dan efisien dengan seluruh pihak terkait perlu diterapkan, " tambahnya.
Pada sesi diskusi, sejumlah peserta yang berasal dari Papua menyatakan bahwa kendala terbesar yang dihadapi di lapangan antara lain proses seleksi yang tidak komprehensif dan dirasa belum merata; kesempatan untuk mendapat beasiswa; dan sistem pendidikan di Papua yang perlu terus diperkuat dan dibenahi.
Hal lain yang juga menjadi perhatian adalah dampak ke depannya bagi mahasiswa yang berminat untuk mendapatkan beasiswa Pemprov Papua.
Diskusi tersebut menghadirkan Dwi Larso, Direktur LPDP; Theo Litaay, Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden; dan Indah Nuria Savitri, Koordinator Fungsi Politik KBRI Wellington. Aisha Kusumasomatri, Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia hadir sebagai moderator. (*)