TRIBUNNEWS.COM - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, menyoroti kasus Deddy Corbuzier soal konten LGBT.
Ia menilik dari sisi moral dan hukum di Indonesia.
Mahfud menyatakan kelompok LGBT maupun pihak yang menyiarkan tayangan LGBT belum dilarang oleh hukum di Indonesia.
Ia menjelaskan berdasarkan asas legalitas seseorang dapat dijerat sanksi hukum jika sudah ada produk hukumnya.
Baca juga: Deddy Corbuzier Dikritik, Putra Jenderal Ini Beri Dukungan
Baca juga: Jelaskan Alasan Deddy Corbuzier Buat Konten LGBT, Gus Miftah: Terprovokasi Keviralan Ragil
Apabila belum ada produk hukum, hukumannya sekadar sanksi otonom atau sanksi moral.
Mahfud mengatakan siapapun boleh berekspresi atau berpendapat di negara yang demokrasi, asal tidak melanggar hukum
Pernyataannya tersebut disampaikan Mahfud di akun instagram pribadinya @mohmahfudmd.
"Banyak yang bertanya, mengapa pelaku LGBT dan promotor-promotornya tidak ditindak secara hukum? Tentu jawabannya, karena LGBT tidak atau belum dilarang oleh hukum yang disertai ancaman hukuman. Ini terkait dengan asas legalitas."
"Ini adalah negara demokrasi, siapa pun boleh saling berekspresi asal tidak melanggar hukum."
"Kawan yg lain bertanya, di negara demokrasi pun harus ada sanksi bagi yang melanggar agama, moral, etika. Betul, tapi penjatuhan sanksi hukum harus berdasar hukum yang ada sebelum terjadinya perbuatan."
"Negara demokrasi harus dilaksanakan berdasar nomokrasi (pemerintahan hukum), dimana setiap melakukan penindakan hukum aparat harus berdasar UU yang telah ada," tulis Mahfud, dikutip Kamis (12/5/2022).
Sanksi Pelaku LGBT dan Penyiarannya
Lanjut, Mahfud mengatakan sanksi bagi pelaku LGBT dan para penyiarnya berupa sanksi otonom.
Sebab, orang hanya bisa diberi sanksi heteronom (yang ditegakkan oleh aparat penegak hukum) jika melakukan pelanggaran yang sudah ditetapkan sebagai larangan hukum.
"Nilai-nilai Pancasila itu belum semua menjadi norma hukum. Nah, masalah LGBT dan penyiarannya itu tidak/belum dilarang oleh hukum, Itu baru diatur dalam norma non hukum karena kita negara yang Berketuhanan yang Maha Esa."
"Berdasar asas legalitas, orang hanya bisa diberi sanksi heteronom jika melakukan pelanggaran yang oleh UU sudah ditetapkan sebagai larangan hukum."
"Tapi sanksinya adalah sanksi otonom yg berupa derita batin, misalnya, karena dibully publik, dikucilkan, ditinggalkan penggemar, takut, malu, merasa berdosa, dan sebagainya. Itu semua adalah sanksi moral dan sosial."
"Harus disadari, ajaran-ajaran agama banyak yang tidak atau belum dijadikan hukum positif," lanjutnya.
Dorong DPR Buat UU Larangan Zina dan Praktik LGBT
Diketahui, Mahfud pada tahun 2017 juga pernah mendorong DPR agar membuat undang-undang yang melarang praktik LGBT hingga zina.
Dia mengusulkan agar nilai moral keagamaan masuk Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Namun, usul tersebut belum diterima sebagai produk hukum hingga sekarang.
Dikatakannya, pemerintah sudah mengajukan konsep, tetapi DPR dan civil society organization (CSO) hingga saat ini belum sepakat.
"Nah, kalau ingin ada hukuman untuk ini, silahkan perjuangkan ke DPR sebagaimana yang pernah saya sampaikan pada tahun 2017 saat terjadi pro kontra soal LGBT ini, agar Rancangan KUHP kita yang sekarang sedang menunggu pengundangan bisa mengakomodasi hal-hal tersebut, sekarang sedang dibahas di Legislatif."
"Sebagai bagian dari proses ini, Pemerintah sudah mengajukan konsep, tetapi DPR dan CSO juga belum bersepakat."
"Jangan pula menuding Pemerintah untuk mengetokkan palu tentang itu. Palunya ada di gedung DPR," tulis Mahfud.
(Tribunnews.com/Milani Resti)