Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Analis politik dari Exposit Strategic Arif Susanto memaparkan tiga masalah besar yang bakal terjadi jika Penjabat (Pj) kepala daerah dijabat oleh TNI/Polri aktif.
Pertama, kata dia, hal itu akan merusak pembangunan profesionalisme TNI dan Polri.
Arif mengingatkan bahwa tuntutan yang digemakan pada tahun 1998 saat Reformasi itu adalah bagaimana supaya politik ini menjadi demokratis.
Dan prasyarat yang ditegaskan kala itu adalah supaya TNI/Polri kembali kepada tugas esensialnya yaitu TNI menjaga pertahanan dan Polri menjaga tertib sosial.
Hal itu disampaikannya dalam diskusi daring bertajuk Pro Kontra Tentara Jadi Pj Kepala Daerah, Jumat (27/5/2022).
"Banyak orang berpikir bahwa pembangunan profesionalisme TNI/Polri itu sudah selesai, apa buktinya? sudah ada UU TNI, sudah ada UU Polri yang isinya sangat progresif terutama menyangkut pembatasan agar TNI maupun Polri tidak terlibat dalam politik praktis, tapi ternyata belum selesai," kata Arif.
Kedua, penunjukkan TNI/Polri aktif menjadi Pj kepala daerah disebut Arif merupakan suatu pengangkangan terhadap Undang-Undang, satu diantaranya yakni UU TNI.
Arif menjelaskan, merujuk Pasal 2 UU TNI disebutkan jati diri TNI salah satunya adalah tentara profesional.
Baca juga: Tito Karnavian Pastikan Pemilihan Pj Kepala Daerah di Sulawesi Tenggara Berasas Profesionalitas
Tentara profesional yang dimaksud dijelaskan yaitu tentara yang terlatih, terdidik, terlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis dan dijamin kesejahteraannya.
"Saya menggarisbawahi tidak berpokitik praktis ini lebih lanjut diatur pada Pasal 39 yang menyebut bahwa prajurit TNI dilarang terlibat salah satunya dalam kegiatan politik praktis, cukup terang dan cukup jelas," ucapnya.
Ketiga, lanjut Arif, hal ini menjadi bagian dari indikasi penting kemunduran demokrasi Indonesia kontemporer.
Dia menjelaskan bahwa sejak era Presiden Joko Widodo terjadi resentralisasi kekuasaan, cukup banyak kewenagan yang mula-mula dimiliki oleh daerah itu sekarang ditarik ke pemerintah pusat.
"Saya kira ini sebuah kabar buruk karena ketika dulu kita menumbangkan pemerintahan Soeharto, salah satu yang paling banyak dikritik adalah pemusatan kekuasaan, yang dari situ kemudian ide tentang otonomi daerah diterjemahkan secara lebih baik pasca Soeharto," tandasnya.