TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Pemilu dari Rumah Demokrasi Ramdansyah menegaskan pemerintah pusat boleh menetapkan Penjabat Gubernur dari kalangan TNI/Polri aktif
"Boleh saja, itu kewenangan pemerintah pusat. Tapi sebelum ditujukan Polri/TNI jadi Pj Gubernur, pusat umumkan dulu wilayah tersebut dalam keadaan darurat militer dan atau sipil," ujar Ramdansyah, Jumat (27/5/2022).
Ramdansyah menjelaskan penetapan penjabat gubernur secara terbuka dapat menunjuk TNI/Polri merujuk kepada kondisi keamanan atau kerawanan suatu provinsi.
Ketentuan mengenai keadaan bahaya diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No. 23 tahun 1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya.
Ada tiga tingkat bahaya yang ditetapkan oleh Perppu tersebut.
Tingkat bahaya paling rendah adalah Keadaan Darurat Sipil dimana militer masih belum dilibatkan sebagai penguasa daerah.
Keterlibatan militer sebagai penguasa daerah dilakukan ketika suatu daerah menjadi Darurat Militer dan Darurat Perang.
"Dalam kondisi sekarang ini, ketiga kondisi bahaya ini tidak terjadi, sehingga alasan penempatan TNI/Polri sebagai Penjabat Gubernur tidaklah beralasan," ujarnya.
Baca juga: Pengamat: Penunjukan Brigjen TNI Andi Chandra As’aduddin Sebagai Pj Bupati Seram Barat tidak Tepat
Ramdansyah mengingatkan penetapan Penjabat Gubernur untuk mengisi kekosongan jabatan sesuai Pasal 210 UU No. 10 tahun 2016 harus berdasarkan Peraturan teknis yang cermat.
Peraturan teknis yang dibuat pemerintah tentunya harus sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).
Mahkamah Konsitutsi (MK) sudah menyampaikan hal tersebut dalam pertimbangan hukum putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/2021.
Pertimbangan itu menyebutkan Pemerintah perlu mempertimbangkan dan memperhatikan untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut pasal 201 UU No. 10 tahun 2016.
Peraturan Pelaksana dibutuhkan sehingga tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas bahwa pengisian penjabat tersebut tidak mengabaikan prinsil-prinsip demokrasi.
Mekanisme pengisian penjabat juga harus terbuka, transparan dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas sesuai dengan aspirasi daerah.
"Poinnya diharapkan peraturan pelaksana tidak merugikan hak-hak kebebasan sipil dan bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku," tambahnya.
Ia menilai tidak adanya peraturan teknis menjadi penyebab pengisian Pejabat Gubernur, Bupati dan Walikota dari pimpinan tinggi madya Pegawai Negeri Sipil menjadi multi interprestasi.