Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) yang juga peneliti masalah pangan, Prof Rubiyo menyoroti masalah ketahanan pangan.
Efek perang antara Rusia dan Ukraina, pelan tapi pasti mulai terasa di berbagai belahan dunia.
Harga makanan berbahan gandum naik di Eropa dan Timur Tengah.
Kemudian kenaikan harga minyak bumi juga turut memicu inflasi di berbagai negara.
“Perang kali ini menjadi alarm pentingnya kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan,” ujar Prof Rubiyo dalam pernyataannya, Senin (30/5/2022).
Menurutnya sangat disayangkan pangan yang menyentuh kelangsungan hidup rakyat Indonesia saat ini masih dipenuhi dari impor.
Ia menyontohkan gula, beras, jagung, hingga kedelai yang merupakan komoditas asli Indonesia, bahkan dibudidayakan jauh sebelum Indonesia ada.
Baca juga: Pasukan Rusia dan Ukraina Tempur Jarak Dekat untuk Perebutkan Sievierodonetsk
“Tapi kenyataannya, hari ini masih diimpor karena produksi dan konsumsi tak imbang. Tempe yang jadi lauk sehari-hari kedelainya masih impor,” katanya.
Pangan bisa jadi alat penekan bangsa lain dengan cara negara produsen menolak ekspor alasannya untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Hal itu bisa menyebabkan harga pangan global naik.
Prof Rubiyo mengatakan ketahanan pangan dimulai dari keluarga, karena bila setiap keluarga mampu mencukupi pangannya sendiri, maka terbentuk ketahanan pangan masyarakat.
“Keluarga mengetahui apa yang mereka butuhkan dan bagaimana mendapatkan atau memproduksi di sekitar rumah mereka,” katanya.
Baca juga: Perebutan Benteng Terakhir di Timur Ukraina, Saling Klaim Menguasai Kota Severodonetsk
Menurut Rubiyo, untuk memproduksi pangan, tiap keluarga bisa memanfaatkan pekarangan dan tak perlu halaman yang sangat luas atau bisa dengan menerapkan model urban farming.