TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta Timur akhirnya menjatuhkan vonis penjara seumur hidup kepada Kolonel Inf TNI Priyanto, terdakwa kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Handi dan Salsabila, dua sejoli di Nagreg, Jawa Barat.
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta Timur Brigjen Faridah Faisal menyatakan Kolonel Priyanto terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap sejoli Nagreg tersebut.
"Menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa berupa pidana pokok penjara seumur hidup," kata Hakim Ketua Brigjen Faridah membacakan amar putusan majelis hakim, Selasa (7/6).
Selain itu, majelis hakim Pengadilan Miiter Tinggi II juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pemecatan Kolonel Priyanto dari kesatuan TNI.
"Pidana tambahan dipecat dari dinas militer," kata Hakim Faridah.
Baca juga: Kolonel Priyanto Divonis Seumur Hidup , Keluarga Korban Tidak Puas: Maunya Hukuman Mati
Hukuman yang dijatuhkan terhadap Priyanto ini sama persis dengan tuntutan yang diajukan oleh Oditur Militer Kolonel Sus Wilder Boy.
Ia menuntut Kolonel Priyanto dihukum penjara seumur hidup.
Selain itu oditur juga menuntut pejabat intelijen itu dipecat dari kesatuan TNI.
Dalam pertimbangannya majelis hakim menyatakan perbuatan pidana Kolonel Priyanto tidak sesuai dengan kepentingan militer.
Faridah menyebut TNI merupakan tentara yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Selain melaksanakan tugas TNI, seorang prajurit mestinya menjaga hubungan baik dengan rakyat.
Selain itu, untuk menjaga soliditas TNI dengan rakyat, semestinya prajurit bersikap sesuai Sapta Marga, Sumpah Prajurit, dan 8 Wajib TNI.
"Yang tidak menyakiti hati rakyat dan tidak merugikan rakyat," ujar Faridah dalam pertimbangannya.
Karena perbuatan Kolonel Priyanto dinilai tidak sesuai dengan kepentingan militer, yakni menjaga soliditas dengan rakyat, Majelis Hakim menyatakan Kolonel Priyanto tidak lagi layak menjadi prajurit TNI.
"Majelis Hakim berpendapat terdakwa tidak layak lagi untuk dipertahankan sebagai prajurit TNI," kata Faridah.
Faridah mengatakan pembunuhan berencana dan penyembunyian jasad Handi dan Salsabila oleh Kolonel Priyanto merupakan tindakan arogan.
Ia mengatakan tindakan itu dilakukan untuk menutupi kesalahan bawahannya, Koptu Andreas dari pihak berwenang.
"Dengan maksud perbuatan ini tidak diketahui pihak berwajib hal ini menunjukkan sikap arogansi," kata Faridah.
Faridah juga menyebut tindakan Kolonel Priyanto hanya mengikuti nafsu. Kasi Intel Kasrem 133/NW (Gorontalo) Kodam XIII/Merdeka itu dinilai tidak mempedulikan nasib korban dan keluarganya.
Tindakan Kolonel Priyanto juga dinilai wujud egoisme berlebihan dan tidak mencerminkan sikap kesatria.
"Mengikuti keinginan hawa nafsu semata, sikap egoisme berlebihan, tanpa memperdulikan nasib korban dan keluarganya," kata Faridah.
Faridah mengungkapkan akibat perbuatan Priyanto, keluarga korban mengalami trauma dan penderitaan yang berkepanjangan.
Mereka kehilangan anak yang masih sangat muda dan menjadi kebanggaan dan harapan keluarga di masa mendatang.
Selain itu, Faridah juga menyebut tindakan Kolonel Priyanto merusak citra TNI di masyarakat dan membuat masyarakat resah.
"Perbuatan tersebut meresahkan masyarakat dengan menimbulkan trauma keluarga dan masyarakat," ujar Faridah.
Faridah menyatakan tidak menemukan alasan pembenar maupun pemaaf yang bisa membuatnya lepas dari tuntutan pidana dan hukum.
Sementara, Kolonel Priyanto merupakan subjek hukum yang bisa bertanggungjawab di dalam sistem hukum Indonesia.
"Oleh karena terdakwa telah dinyatakan bersalah maka terdakwa harus dipidana," tutur Faridah.
Faridah juga mengungkapkan sejumlah alasan memberatkan vonis terhadap Priyanto.
Ia menyebutkan Priyanto merupakan prajurit TNI berpangkat kolonel yang semestinya melindungi negara dan rakyat, tapi malah membunuh rakyat tak berdosa.
"Terdakwa dalam kapasitasnya sebagai prajurit berpangkat kolonel. Melindungi kelangsungan hidup negara dan masyarakat, bukan membunuh rakyat yang tidak berdosa," tambahnya.
Faridah mengatakan perbuatan Kolonel Priyanto telah merusak citra TNI Angkatan Darat (AD), bertentangan dengan kepentingan militer, dan nilai-nilai masyarakat.
Selain itu, perbuatannya juga dinilai bertentangan dengan norma hukum, Pancasila, serta tidak mencerminkan nilai kemanusiaan yang beradab dan agama.
"Perbuatan terdakwa telah merusak citra TNI AD," kata dia.
Alasan memberatkan lainnya adalah Kolonel Priyanto melakukan tindakan pembunuhan itu dengan terencana dan dalam keadaan sadar.
Ia juga dinilai mengganggu kedamaian masyarakat.
"Bahwa perbuatan terdakwa merusak ketertiban dan kedamaian masyarakat," ucap Faridah.
Sementara alasan meringankan dalam vonis ini yakni Kolonel Priyanto telah berdinas selama sekitar 28 tahun, belum pernah dipidana dan dijatuhi hukuman disiplin, serta menyesali perbuatan. "Terdakwa menyesal atas perbuatannya," ujarnya.
Setelah mendengar vonis hakim, Priyanto kemudian menyatakan pikir-pikir. Sikap ini disampaikan Priyanto setelah Ketua Majelis Hakim Pengadilan Militer Tinggi II Brigjen TNI Faridah Faisal memastikan terdakwa mendengar dan memahami putusan tersebut.
"Terdakwa sudah dengar putusan Majelis Hakim?" kata Faridah setelah membacakan putusan, Selasa (7/6). "Siap dengar," kata Kolonel Priyanto. "Apa putusannya?" timpal Faridah. "Siap seumur hidup," jawab Priyanto lagi.
Faridah lantas menjelaskan Kolonel Priyanto beserta kuasa hukumnya serta Oditru Militer (Jaksa) berhak menyikapi putusan tersebut dengan tiga cara, yakni pikir-pikir tujuh hari, menerima, dan menolak.
Faridah mengingatkan jika dalam waktu tujuh hari ke depan Kolonel Priyanto tidak bersikap, maka ia akan dianggap menerima putusan tersebut. "Silakan koordinasi dengan penasehat hukumnya," kata Faridah.
Setelah itu, Kolonel Priyanto beranjak ke meja kuasa hukumnya. Mereka tampak berbincang selama beberapa saat.
Kolonel Priyanto kemudian menyatakan akan pikir-pikir dahulu atas putusan tersebut. "Pikir-pikir Yang Mulia," kata Kolonel Priyanto.
Sikap serupa juga disampaikan Oditur Militer Kolonel sus Wirdel Boy. Jaksa di pengadilan militer itu menyatakan pikir-pikir. "Pikir-pikir Yang Mulia," kata Wirdel.
Dalam perkara ini sebelumnya oditur mendakwa Kolonel Priyanto telah melakukan pembunuhan berencana terhadap Handi dan Salsabila.
Ia didakwa Pasal berlapis, yakni Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP tentang Penyertaan Pidana, subsider Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP.
Selain itu, dia didakwa subsider pertama Pasal 328 KUHP tentang Penculikan jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP, dan dakwaan subsider kedua Pasal 333 KUHP tentang Kejahatan terhadap Kemerdekaan Orang jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP.
Dalam persidangan terungkap Kolonel Priyanto menjadi pelaku dominan dalam kasus ini.
Wirdel mengatakan, da sejumlah alasan yang membuat pihaknya mengajukan pikir-pikir meski tuntutan pidana pokok dan pidana tambahan yakni penjara seumur hidup dan pemecatan dari dinas militer dikabulkan Majelis Hakim Militer Tinggi.
Alasan pertama, kata dia, adalah adanya perbedaan pada pembuktian pasal dalam tuntutan oditur militer tinggi dengan putusan majelis hakim.
"Berbeda dalam hal pembuktian pasal, sama penentuan status barang bukti. Perampasan kemerdekaan (putusan), dan (tuntutan) penculikan," kata Wirdel usai sidang.
Alasan kedua, kata dia, adalah terkait barang bukti.
Dalam tuntutannya, kata Wirdel, pihaknya meminta agar mobil dan ponsel yang digunakan Priyanto untuk melakukan tindak kejahatan dirampas.
Namun, Majelis Hakim Tinggi memutuskan agar barang bukti mobil dan ponsel dikembalikan kepada Priyanto.
Alasan ketiga, kata dia, adalah pihaknya harus berkonsultasi dulu dengan pimpinan Oditurat Militer terkait dengan putusan dan langkah selanjutnya.
Wirdel mengatakan pihaknya juga membuka opsi berdasarkan sejumlah perbedaan tersebut untuk melakukan upaya banding di kemudian hari.
"Jadi perbedaan ini bisa menjadi argumentasi atau dalil kita mengajukan upaya banding," kata dia.
Terpisah, Juru Bicara Pengadilan Militer Tinggi II, Jakarta Timur, Kolonel Chk Hanifan Hidayatullah mengatakan, jika Priyanto dan oditur militer menerima vonis ini, maka terdakwa kasus dugaan pembunuhan berencana sejoli di Nagreg itu tidak akan menerima tunjangan pensiun dan tunjangan lainnya.
Hanifan mengatakan semua fasilitas perawatan kedinasan yang diberikan kepada Kolonel Priyanto juga akan dicabut.
"Konsekuensi dari pemecatan itu semua hak-hak rawatan kedinasannya itu dicabut. Jadi sudah tidak ada lagi untuk menerima pensiun atau pun tunjangan-tunjangan lainnya," kata Hanifan pascapersidangan, Selasa (7/6).
Hanifan menjelaskan eksekusi pemecatan Kolonel Priyanto akan dilakukan setelah putusan Majelis Hakim Pengadilan Militer Tinggi II berkekuatan hukum tetap.
Kasus itu bermula saat mobil yang dikemudikan prajurit TNI yang pangkatnya di bawah Kolonel Priyanto menabrak sejoli itu di kawasan Nagreg, Jawa Barat pada 8 Desember tahun lalu.
Setelah kecelakaan, Kolonel Priyanto dan dua mantan bawahan di satuannya sebelumnya itu mengangkat Handi dan Salsabila ke dalam mobil.
Ia menyatakan akan membawa pasangan itu ke fasilitas kesehatan.
Sejumlah saksi di tempat kejadian mengaku melihat saat itu Handi masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan.
Di tengah perjalanan, Kolonel Priyanto menolak membawa Handi dan Salsabila ke fasilitas kesehatan. Ia menyatakan akan membuang sejoli itu ke sungai di daerah Banyumas, Jawa Tengah.
Kolonel Priyanto tetap melakukan rencananya kendati bawahannya memohon karena keberatan.
Namun, Priyanto meminta prajurit yang bersamanya itu diam dan mengikuti perintah. Di kursi kemudi, Kolonel Priyanto menggunakan aplikasi Google Maps untuk mencari lokasi pembuangan Handi dan Salsabila.
"Ikuti perintah saya kita lanjut saja dan kamu jangan cengeng nanti kita buang saja mayatnya," kata Kuasa hukum Kolonel Priyanto, Lettu Chk Feri Arsandi menirukan pernyataan kliennya.(tribun network/git/dod)