Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Agung ST Burhanuddin mengungkap peran Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar dalam dugaan kasus tindak pidana korupsi pengadaan pesawat di Garuda periode 2011-2021.
ST Burhanuddin menjelaskan, peran Emirsyah Satar berkaitan statusnya sebagai direktur utama di perusahaan maskapai pelat merah tersebut.
Sebab, dugaan korupsi pengadaan pesawat terjadi di era kepimimpinannya.
"Jadi untuk kasus ES ini tentunya adalah dalam rangka zaman direksi dia, ini kan terjadinya pada waktu itu," kata ST Burhanuddin di Kejaksaan Agung RI, Jakarta Selatan, Senin (27/6/2022).
ST Burhanuddin menambahkan bahwa Emirsyah Satar diminta bertanggung jawab atas dugaan kasus korupsi pengadaan pesawat tersebut.
Baca juga: Jaksa Agung Umumkan Dua Tersangka Baru Kasus Korupsi Garuda Indonesia, Ini Daftar Namanya
Menurutnya, kasus yang diusut Kejaksaan Agung berbeda dengan kasus yang ditangani di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Ini pertanggungan jawab atas pelaksanaan kerja selama dia menjabat sebagai direktur. Karena yang di KPK adalah sebatas mengenai suap," jelas Burhanuddin.
Lebih lanjut, Burhanuddin menuturkan bahwa kasus yang dipersoalkan dari Emirsyah Satar seputar pengadaan hingga kontrak-kontrak pengadaan pesawat di Garuda tersebut.
Baca juga: Kejagung Ungkap Perkiraan Kerugian Negara dalam Kasus Korupsi Garuda Indonesia Capai Rp 8,8 Triliun
"Ini mulai dari pengadaannya dan tentunya tentang kontrak-kontrak yang ada itu yang minta pertanggung jawab. Yang pasti bukan nebis in idem," ungkap Burhannudin.
Di sisi lain, Burhannudin mengungkapkan bahwa peran Direktur PT Mugi Rekso Abadi Soetikno Soedarjo juga tak jauh beda dengan Emirsyah Satar.
Diberitakan sebelumnya, Jaksa Agung RI ST Burhanuddin mengumumkan dua tersangka baru dalam dugaan kasus tindak pidana korupsi dalam pengadaan pesawat di PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk tahun 2011-2021.
Baca juga: Nusron Wahid: Garuda Kehilangan Potensi Pendapatan Akibat Diskriminasi Kebijakan Kepabeanan
"Kami juga menetapkan tersangka baru, sejak senin tanggal 27 Juni 2022 hasil ekspose kami menetapkan dua tersangka baru," ujar Burhanuddin.
Kedua orang yang ditetapkan tersangka adalah Emirsyah Satar selaku eks Direktur Utama PT Garuda Indonesia dan Direktur PT Mugi Rekso Abadi bernama Soetikno Soedarjo.
"Yaitu ES selaku Direktur Utama PT Garuda yang kedua adalah SS selaku Direktur PT Mugi Rekso Abadi," kata dia.
Ia menuturkan kedua tersangka tidak dilakukan upaya penahanan.
Sebab, keduanya kini sedang menjalani masa penahanan terkait kasus korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Tidak dilakukan penahanan karena masing-masing sudah menjalani pidana atas kasus PT Garuda yang ditangani oleh KPK," ucap Burhanuddin.
Sebagai informasi, Kejaksaan Agung RI telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam dugaan kasus tindak pidana korupsi dalam pengadaan pesawat di PT Garuda Indonesia (persero) Tbk tahun 2011-2021 pada Kamis (24/2/2022).
Adapun ketiga tersangka itu adalah SA selaku Vice President Strategic Management Office Garuda periode 2011-2012, AW selaku Executive Project Manager Aircraft Delivery Garuda tahun 2009-2014 dan AB selaku Vice President Treasury Management PT. Garuda Indonesia (persero) Tbk Tahun 2005-2012.
Modus Korupsi
Kejaksaan Agung RI membeberkan modus dugaan kasus tindak pidana korupsi pengadaan pesawat PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk.
Ternyata, kasus korupsi tersebut berkaitan dengan penggelembungan (mark up) dana.
Adapun Kejagung RI telah menerbitkan Surat Perintah Penyelidikan dengan Nomor: Print-25/F.2/Fd.1/11/2021 tanggal 15 November 2021.
Proses pengadaan di perusahaan pelat merah itu merugikan keuangan negara.
Kapuspenkum Kejagung RI Leonard Eben Ezer mengatakan kerugian negara dalam pengadaan pesawat Garuda tersebut berlangsung sejak 2013 hingga saat ini.
"Mengakibatkan kerugian keuangan negara dengan waktu perjanjian tahun 2013 sampai dengan saat ini dan manipulasi data dalam laporan penggunaan bahan bakar pesawat," kata Leonard dalam keterangannya, Selasa (11/1/2022).
Dijelaskan Leonard, dugaan kasus korupsi itu berawal dari Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) tahun 2009 hingga 2014 yang merencanakan pengadaan armada pesawat sebanyak 64 unit.
Ia menuturkan proses itu semula dilakukan oleh Garuda Indonesia memakai skema pembelian (financial lease) dan penyewaan (operation lease buy back) melalui pihak lessor.
"Sumber dana yang digunakan dalam rencana penambahan jumlah armada tersebut menggunakan Lessor Agreement. Dimana pihak ketiga akan menyediakan dana dan PT. Garuda Indonesia kemudian akan membayar kepada pihak lessor dengan cara pembayaran secara bertahap dengan memperhitungkan waktu pengiriman terhadap inflasi," jelas dia.
Ia menuturkan Garuda Indonesia juga membentuk tim pengadaan yang melibatkan personel dari beberapa Direktorat dalam bisnis pengadaan pesawat tersebut.
Tim tersebut seharusnya melakukan pengkajian terkait pengadaan yang dilakukan.
Menurut Leonard, naskah yang disusun nantinya akan mengacu pada bisnis plan yang telah dibahas.
Anggaran tersebut harus seirama dengan perencanaan armada.
"Dengan alasan feasibility/riset/kajian/tren pasar/habit penumpang yang dapat dipertanggungjawabkan," jelas dia.
Leonard menjelaskan bahwa RJPP juga telah merealisasikan beberapa jenis pesawat dalam pengadaan, yakni 50 unit pesawat ATR 72-600.
Adapun lima diantaranya merupakan pesawat yang dibeli.
Kemudian, 18 unit pesawat lain berjenis CRJ 1000.
Dimana, enam diantara pesawat tersebut dibeli dan 12 lainnya disewa.
Menurutnya, dana untuk proyek tersebut semula disediakan oleh pihak ketiga.
Kemudian, PT Garuda Indonesia akan membayar kepada pihak lessor.
"Dengan cara pembayaran secara bertahap dan memperhitungkan waktu pengiriman terhadap inflasi," kata Leonard.
Adapun proses pengadaan pesawat Garuda tersebut diduga terjadi peristiwa pidana yang menimbulkan kerugian keuangan negara.
Kejagung menduga pengadaan pesawat Garuda tersebut menguntungkan pihak Lessor.