“Jika Pancasila dipahami proses pembentukannya secara parsial dan tidak utuh menyeluruh maka akan banyak menimbulkan distorsi sejarah Pancasila. Misalkan saja akan muncul pertanyaan, dari mana kita bisa mengetahui bahwa kelima sila dalam Pambukaan UUD 1945 itu bernama Pancasila? Karena tidak ada satu pun kata Pancasila dalam pembukaan UUD, kita lihat alinea pertama, kedua, ketiga dan keempat, tidak ada kata Pancasila,” ujar Basarah.
“Berikutnya, bagaimana kita dapat memahami filosofi sila-sila Pancasila itu sesuai maksud para pembentuk Pancasila dan para pendiri bangsa? Kalau kita mengacu kelahiran Pancasila hanya pada 18 Agustus 1945 maka resikonya bangsa Indonesia akan memahami nilai-nilai Pancasila tersebut menurut selera masing-masing. Tidak ada panduan dalam memahami falsafah bangsa yang terkandung dalam Pancasila,” urai Basarah.
Padahal, lanjutnya, kelima sila Pancasila bukan kalimat mati atau satu ideologi dogmatis seperti komunisme.
Demikian juga kalau dimaknai sebagai ideologi terbuka, tapi tidak bersifat bebas ditafsirkan sekehendaknya.
Pancasila adalah ideologi yang terbuka dan dinamis, dimana nilai-nilai dapat terus mengikuti perkembangan jaman oleh setiap generasi bangsanya namun makna falsafah dasarnya harus tetap berpedoman pada maksud pembentuk Pancasila dan para pendiri bangsa.
Contoh penafsiran Pancasila yang bebas itu seperti ada yang mengatakan bahwa sila-sila Pancasila membolehkan warga negara Indonesia menjadi atheis.
Sementara penafsiran lainnya ada yang menyatakan bahwa agama yang sesuai dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada sila pertama Pancasila hanya Islam saja. Pendapat bebas lainnya menyatakan bahwa roh Pancasila itu adalah NKRI Bersyariah.
“Untuk menjawab perdebatan seperti itu maka pendekatan historis dan hermeneutika sangatlah penting,” kata Basarah.
Baginya, pemahaman sejarah Pancasila yang bersumber dari maksud para pendiri bangsa adalah metode dan pedoman bangsa Indonesia dalam memahami makna falsafah yang terkandung dalam setiap sila Pancasila.
“Jadi bukan pemahaman yang dimaksud oleh rezim tertentu, suatu golongan tertentu, atau kelompok tertentu atau individu,” tukas Basarah.
Basarah juga menekankan, untuk jadi satu ideologi yang hidup di tengah bangsanya, Pancasila setidak-tidaknya memiliki 3 syarat. Syarat pertama adalah Pancasila harus diyakini rasionalitas kebenarannya.
“Bangsa Indonesia seluruhnya meyakini bahwa nilai-nilai Pancasila adalah seperangkat nilai-nilai kebenaran. Oleh karenanya nilai-nilai kebenaran itu diyakini dapat mengantarkan rakyat dan bangsa Indonesia sampai pada tujuan bernegaranya,” urai Basarah.
Kedua, setelah diyakini, kemudian harus dihayati dan dipahami. Agar bisa mencapainya, tentu harus mempelajari Pancasila seutuhnya sesuai yang dirumuskan dan disepakati oleh pendiri bangsa.
“Kalau Pancasila sudah diyakini rasionalitasnya, bangsa Indonesia mempunyai believe, kepercayaan, memiliki keyakinan dan kemudian dipelajari, dipahami dan dihayati, barulah Pancasila kemudian dipraktekkan dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara, dengan demikian Pancasila akan menjadi ideologi yang hidup dan bekerja di tengah-tengah masyarakatnya sendiri,” beber Basarah yang juga Ketua DPP PDI Perjuangan tersebut.