TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Ganja untuk keperluan medis menjadi sorotan, setelah viral aksi seorang ibu di CFD Jakarta yang memperjuangkan obat untuk sang anak Fika. Fika diketahui menderita Celebral Palsy.
Ia membawa pesan tertulis yang berbunyi "Tolong Anakku Butuh Ganja Medis".
Aksi tersebut membuat sejumlah pihak kembali menggulirkan wacana melegalkan ganja untuk terapi medis.
Merespons hal itu Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik UGM, Prof. Apt. Zullies Ikawati, Ph.D., menjelaskan, ganja memang bisa digunakan untuk terapi atau obat.
Didalam ganja mengandung beberapa komponen fitokimia yang aktif secara farmakologi.
Terdapat senyawa cannabinoid yang di dalamnya terdiri dari berbagai senyawa lainnya. Serta yang utama adalah senyawa tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat psikoaktif.
Baca juga: Prof Zubairi: Ganja untuk Keperluan Medis Bisa Jadi Pilihan, Tapi Belum Sepenuhnya Aman
“Psikoaktif artinya bisa memengaruhi psikis yang menyebabkan ketergantungan dan efeknya kearah mental,” jelasnya dikutip dari laman ugm.ac.id, Kamis (30/6/2022).
Senyawa lainnya adalah cannabidiol (CBD) yang memiliki aktivitas farmakologi, tetapi tidak bersifat psikoaktif. Zullies mengatakan, CBD memiliki efek salah satunya adalah anti kejang.
Ia menuturkan, CBD telah dikembangkan sebagai obat dan disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) di Amerika.
Misalnya epidiolex yang mengandung 100 mg/mL CBD dalam sirup. Obat ini diindikasikan untuk terapi tambahan pada kejang yang dijumpai pada penyakit Lennox-Gastaut Syndrome (LGS) atau Dravet syndrome (DS), yang sudah tidak berespons terhadap obat lainp
“Di kasus yang viral untuk penyakit Cerebral Palsy, maka gejala kejang itulah yang akan dicoba diatasi dengan ganja,” ucapnya.
Zullies menjelaskan, CBD memang telah teruji klinis dapat mengatasi kejang. Jadi bukan keseluruhan dari tanaman ganja. Sebab, ganja jika masih dalam bentuk tanaman maka masih akan bercampur dengan THC. Kondisi ini akan menimbulkan berbagai efek samping pada mental.
“Dikatakan ganja medis, istilah medis ini mengacu pada suatu terapi yang terukur dan dosis tertentu. Kalau ganja biasa dipakai, misal dengan diseduh itu kan ukurannya tidak terstandarisasi, tapi saat dibuat dalam bentuk obat bisa disebut ganja medis,”paparnya.
Guru Besar Fakultas Farmasi UGM ini menuturkan jika ganja bukanlah satu-satunya obat untuk mengatasi penyakit termasuk cerebral palsy. Namun, masih ada obat lain yang dapat digunakan untuk mengatasi kejang.
“Ganja bisa jadi alternatif namun bukan pilihan pertama karena ada aspek lain yang harus dipertimbangkan. Namun jika sudah jadi senyawa murni speerti CBD, terukur dosisinya dan diawasi pengobatannya oleh dokter yang kompeten itu tidak masalah,”tegasnya.
Terkait legaliasai ganja medis, Zullies mengungkapkan obat yang berasal dari ganja seperti Epidiolex bisa menjadi legal ketika didaftarkan ke badan otoritas obat seperti BPOM dan disetujui untuk dapat digunakan sebagai terapi.
“Menurut saya, semestinya bukan melegalisasi tanaman ganja-nya karena potensi untuk penyalahgunaannya sangat besar. Siapa yang akan mengontrol takarannya, cara penggunaannya, dan lainnya walaupun alasannya adalah untuk terapi,” urainya.
Zullies mengatakan untuk penggunaan ganja medis ini dapat melihat dari obat-obatan golongan morfin.
Morfin juga berasal dari tanaman opium dan menjadi obat legal selama diresepkan dokter. Selain itu, digunakan sesuai indikasi seperti nyeri kanker yang sudah tidak respons lagi terhadap analgesik lain dengan pengawasan distribusi yang ketat.
“Tanamannya yakni opium tetap masuk dalam narkotika golongan 1 karena berpotensi penyalahgunaan yang besar, begitupun dengan ganja. Oleh sebab itu, semestinya yang dilegalkan bukan tanaman ganjanya, tetapi obat yang diturunkan dari ganja dan telah teruji klinis dengan evaluasi yang komperehensif akan risiko dan manfaatnya,” papar dia.