Conscientious objection, kata dia, menjadi satu hal yang sangat mendasar dan prinsipil terutama dalam konteks kebebasan berpikir dan berkeyakinan di mana justru dalam UU tersebut ada ancaman pemidanaan terhadap mereka yang menolak dilakukan mobilisasi.
Padahal, kata dia, jika merujuk berbagai instrumen internasional HAM negara tidak seharusnya melakukan tindakan kriminilasisasi penghukuman penjara terhadap mereka sebagai conscentious objector atau mereka yang menolak dilakukan mobilisasi karena tidak mau terlibat dalam peperangan yang mengkhawatirkan.
Kompononen cadangan seharusnya, kata dia, dimaknai sebagai kesukarelaan.
Akan tetapi kemudian ketika dia dimobilisasi dalam UU tersebut dikatakan sebagai sebuah kewajiban yang memiliki konsekuensi pemidanaan.
Baca juga: Apa itu Komcad TNI? Ini Pengertian, Persyaratan, Tahapan Seleksi, Hak, serta Kewajiban Anggota
Bahkan, kata dia, potensi pemidanaan tersebut juga terdapat pada mereka yang melarang komponen cadangan untuk dimobilisasi.
Terakhir, kata dia, terkait dengan isu desentralisasi urusan pertahanan.
Dalam UU tersebut, kata dia, justru bertabrakan dengan ketentuan pasal 18 UUD 1945 terutama dalam konteks pembagian urusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Ketentuan pembagian urusan pemerintah pusat yang absolut dalam UU tersebut di mana salah satunya adalah pertahanan, kata dia, berbeda dengan ketentuan pada UU nomor 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara maupun UU nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.
"Di mana justru dalam konteks pengelolaan sumber daya nasional dan pertahanan melibatkan pemerintah dalam konteks penyediaan Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah yang ini juga lagi-lagi menciptakan satu situasi ketidakpastian hukum," kata dia.
Dilansir dari laman resmi Mahkamah Konstitusi RI, mkri.id, sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN) terhadap UUD 1945 digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (22/7/2021) pagi.
Permohonan perkara yang teregistrasi Nomor 27/PUU-XIX/2021 diajukan oleh empat lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan tiga orang warga.
Empat LSM dimaksud adalah Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Perkumpulan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yayasan Kebajikan Publik Indonesia, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia.
Para Pemohon mengujikan Pasal 4 ayat (2) dan (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (1) huruf a, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 46, Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 81 dan Pasal 82 UU PSDN.
Dalam sidang, kuasa hukum pemohon di antaranya mengatakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 29 UU PSDN telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1) sekaligus Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945.
Situasi ketidakpastian hukum akibat rumusan pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 23/2019 mutatis mutandis dinilai juga berdampak pada kekaburan rumusan norma Pasal 29 UU 23/2019, yang mengatur perihal mobilisasi komponen cadangan untuk menghadapi ancaman militer dan ancaman hibrida.