TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Autopsi ulang atas Brigadir J atau Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat disebut bisa menimbulkan sejumlah persoalan.
Selain berpotensi terjadi perbedaan simpulan hasil, proses autopsi pun mempunyai tingkat kesulitan yang lebih tinggi karena faktor pembusukan jenazah dan faktor tindakan yang telah dilakukan pada autopsi sebelumnya.
Kemungkinan hasil autopsi ulang yang akan diperoleh adalah sama dengan hasil autopsi yang pertama; atau berbeda atau ada temuan baru dibandingkan hasil autopsi sebelumnya.
Perbedaan hasil autopsi akan menimbulkan persoalan pada penanganan kasus selanjutnya.
Hasil autopsi mana yang akan digunakan dalam proses persidangan?
Dampak berikutnya, bagaimana nasib para dokter yang melakukan pemeriksaan pada autopsi sebelumnya?
Apakah para dokter tersebut bisa dipersalahkan?
Apakah ada faktor tekanan dalam menyimpulkan hasil autopsi?
Apakah terjadi pelanggaran etik, disiplin dan hukum?
Apabila terjadi perbedaan hasil autopsi dan terbukti para dokter telah melakukan pelanggaran etika, disiplin dan hukum, Kode Etik Kedokteran Indonesia khususnya Pasal 14 menyatakan ”Seorang Dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan seluruh keilmuan untuk kepentingan pasien, yang ketika ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, atas persetujuan pasien/keluarganya, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian untuk itu”.
Selain itu Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran khususnya Pasal 51 ayat (a) menyatakan Dokter mempunyai kewajiban memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.
Baca juga: Jenazah Brigdir J Dibawa ke Pemakaman, Dokter Forensik Bawa Sampel Otopsi ke Laboratorium di Jakarta
Lalu berdasarkan Pasal 242 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana dinyatakan “Barang siapa dalam hal–hal yang menurut peraturan undang-undang menuntut sesuatu keterangan itu membawa akibat bagi hukum dengan sengaja memberi keterangan palsu, yang ditanggung dengan sumpah, baik dengan lisan atau dengan tulisan, maupun oleh dia sendiri atau kuasanya yang istimewa ditunjuk untuk itu, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun”.
Persoalan berikutnya adalah tidak optimalnya proses autopsi ulang yang dilakukan karena jenazah telah mengalami pembusukan dan faktor tindakan yang telah dilakukan pada autopsi sebelumnya.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum dan Mediasi Kesehatan Rakyat menilai pada jenazah yang telah mengalami pembusukan, bukti-bukti yang terdapat pada jenazah akan semakin kabur.