Laporan wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Epidemiologi Griffith University Dicky Budiman menyebutkan perlu berhati-hati dengan data kasus Covid-19 yang berada di lapangan.
"Sekali lagi kita bicara tentang hunian rumah sakit, kapasitas tempat tidur (bed occurred rate), termasuk ICU. Kita harus berhati-hati dengan data di lapangan," ungkapnya pada Tribunnews, Jumat (29/7/2022).
Menurut Dicky mayoritas penduduk Indonesia masih mengobati sendiri dan diam di rumah. Sehingga adanya peningkatan kasus Covid-19 di rumah sakit cenderung seperti 'fenomena gunung es'.
Kebanyakan dari masyarakat kita lebih memilih untuk berada di rumah dari pada pergi ke fasilitas kesehatan.
Akibatnya, terjadi keterlambatan penanganan. Sehingga menyebabkan tingginya tingkat hunian ICU, mau pun kematian.
"Ini lah sebabnya, ada nya trend peningkatan jadi sinyal serius bahwa dengan per 26 Juli BOR pasien Covid-19 yang dirawat inap meningkat," tegas Dicky.
Baca juga: Dukung Dosis Keempat Vaksin Covid-19, Puan Maharani: Booster Pertama Juga Harus Ditingkatkan
Saat ini angka BOR berada pada posisi 4,45 persen. Angka ini tidak menandakan kasus pandemi Covid-19 kecil sehingga menurunkan kewaspadaan.
"Kita harus lihat dan kombinasikan dengan survelens. Karakter virus yang cepat menyebar, menandakan sudah tidak dilakukan penjangkauan publik. Dan apa lagi selisih dengan BOR sedikit yaitu 4,3 persen di ICU," papar Dicky lagi.
Artinya mereka yang datang ke ICU terhitung sudah telat. Hal ini ditandai dengan pasien tidak sempat ke layanan biasa tapi langsung ke ICU.
"Karena harusnya lebih kecil. Kalau ICU dan hunian rumah sakit sama, sekali lagi itu menjelaskan bahwa memang masyarakat Indonesia tidak langsung ke rumah sakit," tegasnya.
Karenanya menurut Dicky perlu dilakukan pencegahan serta meningkatkan mitigasi. Caranya dengan pejangkauan rumah. Selain itu ditandai dengan deteksi dini yaitu testing, treacing dan treatment (3T) dan program proteksi. (*)