Serta pada Pemilu 2014, muncul Partai Nasdem dan Hanura yang menggenapi partai di parlemen menjadi 10.
"Pada Pemilu terakhir, tidak ada penambahan partai baru, yang terjadi justru pengurangan partai karena Hanura tidak lolos parliamentary threshold, sehingga hanya ada 9 partai di parlemen saat ini," ucapnya.
Tak hanya itu, Saiful menyebut, tiga prasyarat bagi partai baru untuk mendapatkan dukungan signifikan dari publik cenderung tidak terpenuhi.
Ketiga prasyarat itu, kata dia, yakni tidak ada momentum, basis sosial cenderung stagnan, dan tidak muncul tokoh baru.
“Jadi apa alasannya harus ada partai yang baru jika syarat-syarat kebaruan itu tidak terpenuhi?" ujarnya.
Momentum
Menurut Saiful, momentum tidak bisa diciptakan, melainkan muncul tiba-tiba dalam sejarah.
Pada 1999, misalnya, ada momentum krisis ekonomi dan keruntuhan Orde Baru.
"Ini momentum politik besar yang tidak bisa diulang dan direkayasa begitu saja," ujarnya.
Ia menuturkan 1999 adalah momentum bagi PDIP, karena keruntuhan Orde Baru pada 1998 identik dengan represi pada PDIP.
"Nama PDIP sendiri lahir sebagai perjuangan melawan Orde Baru. PDIP mendapatkan suara yang sangat siginifikan (34 persen) dalam sejarah politik Indonesia pada 1999 karena ada momentum," ucapnya.
Saiful menilai, perolehan suara besar itu pantas diraih PDIP karena ada pengaruh Megawati yang jadi korban represi yang dilakukan Orde Baru.
Baca juga: Waketum PKB Sambut Positif Ajakan Jokowi Tak Ada Politik Identitas di Pemilu 2024
Basis Sosial
Saiful mencontohkan Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persis, atau Gereja yang disebut memiliki basis keagamaan.