TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aktivis Perempuan Ketua Komunitas Civil Society Indonesia, Irma Hutabarat menilai institusi negara tak memberikan perhatian terhadap nasib dan penindasan Brigadir J dan keluarganya.
Bahkan negara tidak memberikan perhatian pada nasib Rosti Simanjuntak, ibunda Brigadir J atau Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Rosti yang tinggal di Sungai Bahar, Kabupaten Muarojambi, Provinsi Jambi sebenarnya yang paling menderita.
Dia menyebut, pada awalnya institusi kepolisian telah membuat pernyataan Brigadir Yosua berusaha melecehkan Putri Candrawathi istri Ferdy Sambo.
Pernyataan itu dianggap Irma Hutabarat menyerang kehormatan Brigadir Yosua, anggota Polri yang sudah tewas ditembak.
Baca juga: Rekonstruksi Kasus Brigadir J Digelar Selasa Depan, Dihadiri 5 Tersangka, JPU, Kompolnas, Komnas HAM
Namun polisi menyebut tidak terjadi seperti yang diungkap di awal soal pelecehan di Duren Tiga.
Mirisnya ketika Polri menyampaikan hal itu tidak ada permintaan maaf kepada keluarga korban.
Juga Kombes Pol Budhi serta Brigjen Ramadhan yang di awal sudah menyebut terjadi pelecehan, tidak pernah meminta maaf.
"Kepolisian tidak minta maaf. Sambo dan Putri tidak bicara apa-apa. Ini orang sudah mati. Kematian anak adalah hal yang paling menyakitkan bagi seorang ibu," tutur Irma Hutabarat, pada acara Perempuan Bicara, tayang di TV One.
Dia juga mengkritisi lembaga negara yakni DPR, yang telah bersidang dan membahas soal kematian Brigadir Yosua Hutabarat.
"Parlemen bersidang, tidak satupun yang peduli apa yang terjadi pada keluarga Yosua," ujarnya.
Dia merasa bahwa DPR turut melupakan keluarga yang kini paling bersedih atas peristiwa ini.
"Tidak ada yang tanya bagaimana keadan ibunya, bagaimana bapaknya.
Mereka (keluarga Yosua) orang miskin, gaji dibayar 600 ribu per tiga bulan," ucap Irma Hutabarat dengan mata berkaca-kaca.