TRIBUNNEWS.COM - Guru Besar Universitas Indonesia (UI) sekaligus pengajar Gender dan Hukum, Prof Sulistyowati Irianto, menilai tak mungkin Brigadir Joshua Hutabarat atau Brigadir J, berani melakukan pelecehan seksual terhadap Putri Candrawathi.
Pasalnya, kata Sulistyowati, pelecehan seksual itu harus memenuhi dua unsur, yaitu ketiadaan consent dan relasi kuasa.
Melihat dari dua unsur tersebut, Sulistyowati menilai hal-hal itulah yang membuat aktivis perempuan diam dalam kasus Ferdy Sambo, di mana Putri Candrawathi mengaku jadi korban pelecehan seksual oleh Brigadir J.
"Saya rasa teman-teman aktivis perempuan itu sangat berhati-hati dalam kasus ini (Brigadir J). Karena pelecehan seksual, kekerasan seksual itu membutuhkan dua unsur yang harus dipenuhi."
"Pertama adalah ketiadaan consent, ketiadaan kesukarelaan, atau persetujuan dari korban. Dan kedua adalah ada relasi kuasa, di mana pelaku selalu berada di dalam kekuasan yang lebih terhadap korban," terang Sulistyowati dalam acara Rosi di KompasTV, dikutip Tribunnews.com, Senin (29/8/2022).
Lebih lanjut, Sulistyowati menyinggung relasi kuasa dalam kasus Brigadir J.
Baca juga: FAKTA Putri Candrawathi Diperiksa: Bersikeras Jadi Korban Pelecehan, Belum Ditahan Meski Sudah Sehat
Ia mengungkapkan, di dalam organisasi kemiliteran dan kepolisian, terdapat hierarkis yang jelas tatanannya.
"Jadi dalam hal ini, relasi kuasanya pertama. Itu 'kan ada hierarkis yang tinggi antara Joshua dan Ibu Sambo ya."
"Dan di dalam kemiliteran atau kepolisian hierarkis itu sangat tajam, jelas."
"Pertanyaannya apakah terduga pelaku ini bisa memanjat hierarki yang terlalu tinggi," urai Sulistyowati.
Sulistyowati menambahkan, Brigadir J sebagai seorang polisi tentu mengerti soal hukum pidana.
Selain itu, Sulistyowati menilai, Brigadir J sebagai seorang ajudan tidak berani berbuat macam-macam pada keluarga atasannya.
Terlebih, Putri Candrawathi adalah seorang istri jenderal bintang dua Polri dan kesehariannya dikelilingi para ajudan.
"Yang kedua, sebagai seorang polisi tentu dia tahu betul tentang hukum pidana, hukum acara, bahwa pembuktian dari kekerasan seksual itu harus dinyatakan secara fisik."