News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Aliansi Aksi Sejuta Buruh Desak Pemerintah Turunkan Harga BBM dan Cabut Omnibus Law Cipta Kerja

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Aliansi Aksi Sejuta Buruh Turunkan Harga BBM, CabutUU Omnibus Law Cipta Kerja, dan Batalkan RUU-KUHP akan melakukan aksi unjuk rasa akbar serentak pada tanggal 10 Oktober 2022 di Jakarta dan di berbagai Ibu Kota Provinsi dan Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aliansi Aksi Sejuta Buruh Turunkan Harga BBM, Cabut UU Omnibus Law Cipta Kerja, dan Batalkan RUU-KUHP akan melakukan aksi unjuk rasa akbar serentak pada tanggal 10 Oktober 2022 di Jakarta dan di berbagai Ibu Kota Provinsi dan Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.

Hingga sekarang, Aliansi ini telah diikuti lebih dari 40 Konfederasi, Federasi, Serikat Pekerja di Seluruh Indonesia.

"Aksi unjuk rasa akbar ini akan dilakukan karena Pemerintah maupun DPR tidak menghiraukan aspirasi yang disampaikan melalui unras, yang telah dilakukan oleh berbagai Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) yang terjadi hampir di seluruh daerah terutama di Jakarta," kata Presidium Aliansi Aksi Sejuta Buruh Arif Minardi, Jumat (16/9/2022).

Ia melanjutkan, hal ini malahan direspons dengan menaikan harga BBM yang membuat perekonomian kaum buruh semakin terjepit, dan juga mengesahkan revisi UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP).

Sehingga bisa menjadi alat untuk melegitimasi UU Omnibus Law Cipta Kerja yang telah dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi Konstitusional dan berlaku di Indonesia serta kami menolak untuk DPR mensahkan RUU-KUHP menjadi UU KUHP.

Baca juga: Demo BEM SI Tolak Kenaikan BBM Bubar, Jalan Merdeka Barat kembali Dibuka

"Seperti diketahui bahwa UU Omnibus Law Cipta Kerja ini sudah bermasalah sejak awal pembentukannya dan hal itu tergambar dengan jelas dari reaksi yang timbul dari banyak komponen masyarakat."

"Karenanya bisa dikatakan bahwa Pemerintah bersama DPR telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dalam pembentukan UU tersebut," katanya.

"Tanda-tanda bahwa pemerintah bersama DPR akan tetap melanjutkan cara-cara akrobatik terlihat pada proses revisi UU PPP yang prosesnya sangat cepat," ujarnya.

Apabila merujuk Putusan MK tentang UU Omnibus Law Cipta Kerja, akan terlihat bahwa tidak mungkin UU ini menjadi Konstitusional, bahkan setelah revisi UU PPP disahkan kecuali diulang dari awal sejak mulai perencanaan dan penyusunannya.

Salah satu pelanggaran yang tidak memungkinkan UU Omnibus Law Cipta Kerja dapat disahkan adalah Putusan MK yang menyatakan bahwa UU Omnibus Law Cipta Kerja tersebut melanggar asas yang tercantum dalam UU PPP.

Pelanggaran asas tersebut adalah tidak secara memadai dilibatkannya berbagai pemangku kepentingan termasuk SP/SB sebagai representasi pekerja/buruh dalam proses pembentukannya.

"Secara gambling UU Omnibus Law Cipta Kerja ini melanggar Pasal 5 huruf (g) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yaitu mengabaikan asas keterbukaan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan. Sehingga sebagai pihak terdampak langsung dalam hal ini pekerja/buruh tidak dapat memberikan masukan baik dalam tahap perencanaan dan penyusunan draft/naskah maupun saat pembahasan di DPR," ujarnya.

Menurutnya, dengan mengabaikan asas keterbukaan itu maka Materi Muatan UU Cipta Kerja ini banyak melanggar kaidah dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

"Di mana materi-materi muatannya di antaranya mengabaikan asas pengayoman, asas keadilan dan asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan di mana setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan dan rasa keadilan sehingga menciptakan ketenteraman dalam masyarakat."

"Akibat proses pembentukan UU yang banyak melanggar asas sebagaimana telah disebutkan diatas, maka pekerja/buruh merasakan ketidakadilan serta hilangnya perlindungan dari negara dalam masa bekerja karena status kerja yang tidak ada kepastian akibat kerja kontrak, alih daya (outsourcing) dan ancaman PHK yang setiap saat menghantuinya serta aturan yang menurunkan standar kesejahteraan."

"Tentu saja hal ini akan menyebabkan terganggunya keseimbangan, keserasian dan keselarasan serta produktivitas dalam hubungan industrial," ujarnya.

Di samping itu UU Omnibus Law Cipta Kerja juga telah mengabaikan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena mulai dari perencanaan dan penyusunannya tidak melibatkan Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit.

"Dari uraian di atas, Aliansi Aksi Sejuta Buruh menuntut pemerintah untuk Turunkan Harga BBM, Mencabut UU Omnibuslaw Cipta Kerja No. 11 tahun 2020, Batalkan RUU-KUHP." tandasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini