Harta kekayaannya menurut data LHKPN adalah 8,3 miliar.
Dikutip dari biskom.web.id, pada Juni 2019, Johanis Tanak telah berhasil mempertahankan disertasinya di hadapan 10 Guru Besar dalam Ujian Terbuka Gelar Doktor Program Studi Ilmu Hukum di Universitas Airlangga.
Disertasinya yang berjudul Kontrak Kerjasama Operasi (KSO) dalam Pekerjaan Jasa Konstruksi Milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengantarkan Johanis Tanak meraih gelar Doktor dengan predikat sangat memuaskan.
Ditengah kesibukannya Johanis Tanak nerhasil mendapatkan IPK tinggi yakni 3,80.
Selain itu, dikutip dari Kompas.com, Johanis Tanak sempat dicecar pertanyaan mengenai kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum jaksa saat mengikuti seleksi KPK beberapa waktu lalu.
Salah satunya mengenai dua orang jaksa di Kejaksaan Negeri Yogyakarta dan jaksa di Kejaksaan Negeri Surakarta yang terkena kasus suap lelang proyek pada Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Kawasan Permukiman (PUPKP) Kota Yogyakarta Tahun Anggaran 2019.
"Seberapa parah kondisi korupsi kejaksaan?" tanya salah satu anggota panitia seleksi capim KPK, Al Araf.
Dirinya mengatakan bahwa integritas dan kepribadian dari jaksa yang bersangkutan menjadi problem utama yang menyebabkan banyak jaksa korupsi.
"Kalau seseorang punya integritas baik, maka pasti dia tak akan melakukan. Saya merasakan itu. Saya pelaku. Saya sering ditawarkan uang tapi demi tuhan saya tidak terima," kata dia.
Pada kesempatan itu, Johanis Tanak juga menyampaikan bahwa secara kelembagaan, Kejaksaan sangat serius untuk penanganan korupsi.
Kemudian Johanis Tanak juga mengungkapkan jika OTT yang selama ini digunakan artinya bertentangan.
Operasi yang berarti suatu kegiatan yang telah direncanakan, sedangkan tangkap tangan menurut ilmu hukum bukan direncanakan tapi seketika itu terjadi tindak pidana dilakukan, maka seketika itu ditangkap.
Hal itu disampaikan Johanis kepada awak media usai seleksi wawancara dan uji publik capim KPK di gedung Sesneg, Jakarta, Kamis (28/8/2019).
"Jadi bukan direncanakan ditangkap sehingga menurut saya secara ilmu hukum itu keliru (red-penerapan OTT). Idealnya, kita harusnya pahami," kata Johanis Tanak.