Laporan Reporter Tribunnews.com, Naufal Lanten
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI membuka peluang penerapan sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) asimetris dan pemilihan legislatif (Pileg) proporsional tertutup.
Anggota Badan Pengkajian MPR, Sodik Mujahid mengatakan wacana penerapan sistem asimeteris itu lantaran cakupan wilayah Indonesia yang begitu luas dengan kondisi yang beragam dari segi ekonomi, politik, hingga budaya.
“Tetapi kebijakan asimetris ini perlu kualitas manajerial yang bagus ya. Kenapa, karena kita akan mengawasi sesuatu yang bisa jadi berbeda antara satu kondisi dan satu kondisi yang lainnya,” kata Sodik Mujahid seusai pertemuan Badan Pengkajian MPR RI dengan Bawaslu di kantor Bawaslu RI, Jakarta, Kamis (22/9/2022).
Tidak Diterapkan di 2024
Lebih lanjut Politisi Partai Gerindra ini mengatakan penerapan sistem Pilkada dan Pileg asimetris ini tidak memungkinkan untuk diterapkan pada Pemilu 2024.
Hal itu lantaran tahapan Pemilu 2024 sudah bergulir.
Sehingga, tidak ada waktu lagi untuk merevisi Undang-Undang Pemilu.
Baca juga: MPR Sebut Indonesia Harus Berani Kembali Gunakan Sistem Pemilu Tertutup
“Tidak, karena 2024 undang-undangnya sudah ada, PKPU sudah ada, program sudah detail. Saya kira sangat tidak sulit ya untuk menggabungkan undang-undangnya sudah ada menggunakan itu,” kata Sodik.
Ia mengatakan dua sistem itu dipertimbangkan untuk dapat diterapkan saat Pemilu 2029 mendatang.
“Mungkin tidak untuk 2024 karena waktu sudah mepet. Dipertimbangkan untuk waktu akan datang dan tolong teman-teman ingatkan hal ini nanti menjelang Pemilu 2029,” tuturnya.
Sebelumnya, Badan Pengkajian MPR RI bicara soal peluang pelaksanaan pilkada asimetris di mana tak semua kepala daerah dipilih secara langsung.
Baca juga: Badan Pengkajian MPR Jelaskan Ada Tabrakan Aturan Jika Presiden Dua Periode Calonkan Cawapres
Opsi tersebut disebut sebagai salah satu solusi atas evaluasi pemilihan kepala daerah langsung.
“Termasuk juga dalam pilkada, apakah dimungkinkan pilkada asimetris? Sehingga tidak semua dipilih langsung,” kata Pimpinan Badan Pengkajian MPR RI Djarot Saiful Hidayat di kantor KPU RI, Jakarta Pusat, Rabu (21/9/2022).
“Apakah dimungkinkan tingkat otonomi di provinsi adalah kota/kabupaten. Karena ini juga menyangkut sistem ketetanegaraan kita dan sistem pemilu dan demokrasi kita,” lanjutnya.
Djarot mencontohkan Provinsi DKI Jakarta di dalam Undang-Undang pilkada hanya ada pemilihan di tingkat Provinsi.
Sedangkan pemilihan walikota dan bupati dipilih lewat mekanisme lelang jabatan.
Baca juga: MPR Tegaskan Tak Pernah Bahas atau Kaji Masa Jabatan Presiden Tiga Periode
Hal ini karena otonomi di tingkat provinsi tidak ada pemilihan langsung walikota dan bupati.
“Kemudian sekarang bagaimana dengan daerah-daerah? Misalkan daerah otonomi baru (DOB). Artinya kita perlu mengkaji mana daerah yang betul-betul siap untuk pilkada secara langsung dan mana yang cukup dipilih melalui DPRD,” jelas dia.
Selain itu kata dia, dampak dari pilkada langsung adalah biaya politik yang tinggi.
Sementara dampak negatifnya adalah banyak kepala daerah yang terjerat kasus korupsi lantaran banyak dimodali para pemodal saat berkampanye.
Namun, Djarot mengatakan bahwa opsi Pilkada asimetris tidak mungkin diterapkan untuk pemilu 2024 lantaran selain tak ada revisi UU Pemilu, Pilkada Serentak juga sudah dipastikan terjadi.
“Bagaimana rekomendasinya nanti kami akan sampaikan ke KPU. Mudah-mudahan tahun ini sudah selesai, karena 2024 itu pilkada serentak,” kata Djarot.